Langit Tjerah menerima donasi buku bekas, buku baru, maupun alat pendidikan yang lainnya untuk kami salurkan kepada Komunitas Pendidikan maupun Taman Baca yang membutuhkan, silahkan hubungi contact person. Terima Kasih.

Thursday, June 22, 2017

Negara Indonesia Dalam Bingkai Masalah Kemanusiaan Yang Berdarah


Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang membentang di garis Khatulistiwa. Negeri kaya yang masih menghadapi persoalan pelik di segala bidang. Jalan pendidikan yang macet, roda ekonomi yang tersendat-sendat, hingga potret kemanusiaan yang kelam di masa lalu. Negeri ini juga memiliki sejarah yang sangat unik, mulai dari pra penjajahan kolonial hingga pasca kemerdekaan. Di masa kolonial Indonesia dibodohkan terlalu lama oleh sistem penjajahan negeri Eropa. Sehingga kebodohan tersebut mengakar dan membudaya, tumbuh subur dalam otak generasi selanjutnya. Dalam pembahasan kali ini, sedikit banyak akan mengorek luka lama agar kita tahu siapa yang membuat luka tersebut. Sesuai judulnya kita akan banyak membahas permasalahan pelanggaran kemanusiaan di negeri yang seharusnya sangat humanis ini. Potret kelam pelanggaran kemanusiaan di jaman penjajahan sangat kompleks hingga tak cukup waktu untuk diceritakan semuanya. Mulai dari penindasan manusia, perkosaan, genosida, hingga perbudakan. Hal tersebut menghiasi kehidupan sehari-hari di masa penjajahan. Permasalahan perbudakan menjadi sorotan bila kita membahas era penjajahan. Sebagaimana rakyat yang hidup pada masa tersebut mengalami kekejaman pemerasan tenaga dan daya cipta oleh penjajah yang biadab. Rakyat hanya dipaksa untuk bekerja tanpa upah, baik upah material maupun moral. Ironisnya, justru elit-elit dari golongan pribumi banyak yang menjadi kaki tangan si penindas Hak Asasi Manusia. Dengan iming-iming hidup yang enak, elit tersebut dengan senang hati menjilat pantat si penindas. Hal ini diatasnamakan dengan sebutan ‘koloni’. Hingga masa pergerakan, mulai nampak titik terang atas nasib rakyat kecil yang sudah mulai jenuh dengan kehidupan sehari-hari yang penuh dengan kesengsaraan. Sehingga mengantarkan bangsa ini mendapatkan ‘kemerdekaan’.

Ilustrasi
Setelah masa penjajahan, negeri ini merdeka dan mulai menentukan nasib sendiri bagaikan gadis remaja yang harus bertahan di belantara pergaulan skala global. Bukan berarti setelah mencapai kemerdekaannya bangsa ini terbebas dari pelanggaran kemanusiaan. Justru babak baru pelanggaran kemanusiaan dilakukan oleh pemerintahan sendiri setelah berhasil serah terima kekuasaan dari penjajah sebelumnya. Kekerasan dan represi dilakukan atas nama negara dengan dalih menyelamatkan kestabilan nasional. Penyiksaan sesama anak bangsa dilegistimasi oleh badan yang bernama “Pemerintah dan Aparatur Negara”. Setelah merdeka dari penjajah rakyat bukannya terbebas dari belenggu kejahatan kemanusiaan tetapi justru rakyat berhadapan dengan penindas yang memiliki warna kulit yang sama. Tentu dengan pakaian, nasib, dan hoki yang berbeda dengannya.

Pada era awal berdirinya negara Indonesia, sekelompok orang yang menyebut dirinya sebagai pemerintah sangat menjunjung tinggi perdamaian dan Hak Asasi Manusia. Segala konsepsi di bentuk untuk melindungi keberlangsungan nilai kemanusiaan dalam kehidupan negaranya. Mengatur kehidupan bangsanya supaya hidup dalam harmoni dan menjunjung tinggi HAM. Walaupun kita sangat mengamati bahwa awal-awal berdirinya negara ini penuh dengan tarik ulur dan sengketa dengan pihak penjajah yang belum rela tanah jajahannya merdeka.

Hingga sepuluh tahun setelahnya tepatnya pada tahun 1959 setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit, rakyat di negeri ini mulai merasakan pengekangan kebebasan Hak Sipil dan Hak Politik. Tindakan subversif pemerintah mengatasnamakan menjalankan Demokrasi Terpimpin untuk kestabilan politik dalam negeri menghadapi kekuatan kedua Blok besar di dunia. Namun hal tersebut masih dapat diterima jika kita melihat bahwa Indonesia kala itu diincar oleh kedua kekuatan Blok dunia. Hal ini mendorong pemerintah untuk melakukan tindakan subversif untuk menghadang kekuatan kedua Blok tersebut dari unsur dalam negerinya sendiri. Hingga tujuh tahun setelah Dekrit, dan Presiden Soekarno jatuh karena kudeta yang penuh konspirasi. Kudeta yang diamini oleh AS yang mendukung Jendral Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan dan mulai menyuntikkan kebijakan politiknya ke otak Soeharto. Hal ini didokumentasikan oleh John Pilger dalam film dokumenternya The New Rules of The World, 2002. Bahkan dalam buku Who Rules The World?dituliskan bahwa “Kemenangan paling penting dari perang Indhochina terjadi pada 1965. Ketika itu, dengan dukungan AS, kudeta militer di Indonesia dipimpin oleh Jenderal Soeharto melakukan kejahatanyang oleh CIA dianggap sebanding dengan yang dilakukan Hitler, Stalin dan Mao.”[1]. Mengingat bahwa korban kejahatan Soeharto kala itu mencapai ratusan ribu jiwa.

Setelah berganti kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto, daftar panjang pelanggaran kemanusiaan masih membentang panjang, lebih panjang daripada wilayah negeri ini sendiri. Setelah tragedi kudeta terhadap Sukarno dengan mengkambinghitamkan salah satu partai yang berbasis massa, Soeharto mulai melakukan fantasi holocaust yang mirip dengan fasisme Hitler di negeri ini. Dengan dalih membersihkan “orang kiri”, Soeharto mulai memakai sarung tangan besinya untuk menghilangkan nyawa ratusan ribu hingga jutaan orang. Hanya karena tuduhan sederhana, yaitu tuduhan sebagai “orang komunis harus disingkirkan karena mengancam  ideologi  negara.”. Dengan latar belakang militer, orang kelahiran Dusun Kemusuk, Yogyakarta ini memimpin negeri ini dengan serangkaian tindakan represif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Pembantaian  massal orang-orang yang di cap komunis tanpa pengadilan yang jelas menjadi nilai merah pertama orang yang dijuluki “The Smilling General” ini.

Soeharto Pada Masa 1965
Waktu berlanjut hingga tahun 1981, awal dimulainya variasi kejahatan kemanusiaan gaya Soeharto yang lain yaitu Penembakan Misterius. Kejahatan kemanusiaan tersebut berupa hukuman mati terhadap residivis, preman, bromocorah, dan orang jalanan tanpa melalui pengadilan yang jelas. Orang-orang dengan mudah dihilangkan nyawanya dengan alasan bahwa pelaku kriminal harus dihukum dengan cara yang sama saat ia memperlakukan korbannya, Hal tersebut diakui Soeharto sendiri dalam otobiografinya Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Orang yang kelihatan bertato atau bertampang kriminal akan langsung mati ditempat oleh peluru panas begundal  negara yang berseragam dan bersepatu kulit setinggi betis. Amnesty Internasional mencatat korban dari kebijakan tersebut kurang lebih 5.000 jiwa.
Presiden Soeharto
Masih banyak pelanggaran kemanusiaan di era Mr. General ini sebutkanlah Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari, Daerah Operasi Militer Aceh, Timor Timur (Timor Leste), Penghilangan Paksa Aktivis (23 Aktivis 9 orang kembali, 1 tewas, 13 hilang), Peristiwa Trisakti, Hingga Kerusuhan Mei 1998. Semuanya menggunakan aparatur negara sebagai alat kekerasan dan pelanggaran kemanusiaan. Belum lagi pelanggaran dari segi hak politik masyarakat, kebijakan represi, hingga pembatasan hak-hak sipil masyarakat. Jauh lebih buruk dibandingkan pada masa pemerintahan Orde Lama. Sehingga memunculkan perlawanan yang berakibat turunnya Si Tangan Besi.

Setelah mundurnya Soeharto, perjalanan panjang kemanusiaan di Indonesia berehat sejenak dari liku-liku yang melelahkan. Namun, budaya militerisme terlanjur mengakar pada mantan-mantan jenderal atau bahkan sebagian ‘cheersleadernya’  pada masa itu. Budaya “praetorian” terlanjur disuntikan ke otak jenderal-jenderal yang kelak akan menjadi penguasa baru setelah kemunduran The Big General dan menjadi penerus kekejaman terhadap nilai kemanusiaan.

Bentuk-bentuk Pelanggaran HAM pasca Reformasi berangsur berkurang dibandingkan di era Orde Baru. Namun, bukan berarti di era Reformasi menjadi aman-aman saja, justru pelanggaran gaya baru mulai tampil dengan muka yang lebih sopan. Ditunjang dengan semakin terjalnya jurang pemisah antara kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, agamawan dan anak jalanan. Juga penjajahan Imperium gaya baru yang bernama Globalisasi. Pasca Reformasi, diterbitkannya PAM Swakarsa menambah panjang liku jalan kemanusiaan bangsa ini. Dengan gerbang PAM Swakarsa ini melahirkan kelompok-kelompok perusuh yang bebas melakukan pelanggaran kemanusiaan berdalih menciptakan stabilitas. Ada apa gerangan? Mungkinkah dengan adanya ormas-ormas rusuh bercorak represif ini sebagai upaya cuci tangan pelanggaran HAM masa lalu?. Atau menjadi pelaksana kegiatan represi setelah keruntuhan Orde Baru?. Apalagi dalam tubuh ormas-ormas rusuh tersebut ada jenderal-jenderal pensiunan masa Orde Baru.
Intoleran Society
Sebutkanlah pelanggaran kemanusiaan terhadap kasus Ahmadiyah, pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang dilakukan oleh ormas-ormas rusuh. Terkesan SBY mendiamkan ormas rusuh tersebut melakukan kebiadaban, dan cenderung tidak mengeluarkan kebijakan normatif. Padahal, pada Pemilihan Presiden tahun 2004 dicitrakan bahwa SBY adalah seorang yang humanis, demokrat dan sangat toleran. Tetapi apakah benar demikian? Bukankah SBY juga merupakan pion  Soeharto kala itu?. Bukankah “Semua serdadu pasti tak jauh berbeda.” begitu salah satu lirik lagu Iwan Fals?. Belum lagi pemerintahannyabanyak didukung oleh jenderal-jenderal alumnus sekolah militer prestisius di AS. Memang salah satu langkah AS dalam mewujudkan ambisi imperiumnya adalah dengan menempatkan jenderal-jendral lulusan sekolah militer di AS, seperti Forth Leavenworth dan Fort Benning. Doktrin militeristik AS sengaja ditanamkan pada siswa-siswanya untuk menjadi “anjing penjaga” di negara asalnya dengan menjadikannya pemimpin bangsa dibawah hegemoni AS.

Jejak pelanggaran HAM di era reformasi juga belum tertuntaskan, terutama sekali penyelesaian konflik vertikal di Papua dan Aceh. Sebetulnya, masa Habibie, Gus Dur dan Megawati memiliki komitmen untuk menjadikan pendekatan dan dialog sebagai paradigma penyelesaian konflik. Namun setiap jalan pasti ada hambatannya, SBY ketika menjabat sebagai Menkopolkam justru meningkatkan intensitas konflik. Melalui Keppres No. 28 Tahun 2003 jelas-jelas memberlakukan Darurat Militer [2]. Itu artinya, bukan solusi penyelesaian konflik melalui pendekatan yang dipilih melainkan memperburuk konflik dan menambah korban jiwa.

Deretan panjang kasus kemanusiaan di negeri ini seperti cerita yang tak berujung dan tak pernah ada solusinya. Setiap pergantian kekuasaan pasti menjanjikan penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, tetapi  setelah itu berangsur ditelan waktu dan berganti kejahatan kemanusiaan yang baru. Apakah artinya sebuah negara jika hanya menjadi alat kekejaman terhadap segala bentuk kehidupan. Kehidupan yang seharusnya sangat bernilai menjadi barang murahan sehingga dengan mudah dikriminalisasi oleh sebuah badan yang mengatasnamakan sebagai negara. Wajar bila seorang anarkis mengatakan “I don’t believe in state” ketika melihat negara hanyalah sebagai alat kekejaman dengan mengatasnamakan kebijakan dan stabilitas nasional. Beribu dalil bahwa negara diciptakan sebagai sebuah wadah bagi kehidupan manusia, seakan bila tak ada negara kita adalah hewan-hewan murahan. Tetapi bukankah kenyataannya negara hanya menjadi arena pertarungan hewan-hewan politik?. Filsuf sosial termasyhur dari Amerika, John Dewey, pernah menggambarkan politik sebagai “bayangan yang dirajut di tengah masyarakat oleh kelompok yang sangat berkuasa dan berpengaruh” [3]. Ujungnya, dunia hanyalah kumpulan bangsa-bangsa yang memiliki peran penindas untuk seluruh jenis kehidupan. Kumpulan birahi kekuasaan yang melegalkan  penindasan atas nama kepentingan nasional.

Catatan :
[1] Noam Chomsky, 2017, Who Rules The World, terj. Eka Saputra, Bentang, Yogyakarta,  hal. 111-112.

[2] Keppres No. 28 Tahun 2003 tentang Pemberlakuan Status Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berlaku efektif mulai 19 Mei 2003.

[3] Westbrook, R. 1991, John Dewey and American Democracy. Ithaca, NY: Cornell University Press, Hal. 440.



Big Thanks to Readers!
Written by : Vrandes Setiawan Cantona - Langit Tjerah

No comments:

Post a Comment

Designed By Langit Tjerah