Langit Tjerah menerima donasi buku bekas, buku baru, maupun alat pendidikan yang lainnya untuk kami salurkan kepada Komunitas Pendidikan maupun Taman Baca yang membutuhkan, silahkan hubungi contact person. Terima Kasih.

Wednesday, August 23, 2017

Persiapan Untuk Pengadaan Taman Baca Masyarakat Bersama Pemuda Garuda 72

Sebuah perjuangan bidang literasi untuk kemajuan generasi...

Lingkungan Gondang Ngisor
Gondang Ngisor RT. 07, RW. 02, Kelurahan Manggong, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
------

Literasi berasal dari bahasa Inggris Literacy yang berarti melek huruf, dapat dimaksudkan sebagai kemampuan individu untuk membaca, menulis dan daya tangkapnya. Dalam hal ini, media yang sangat ampuh dalam membantu proses ini adalah buku. Ada yang menyatakan bahwa buku adalah jendela dunia, bisa dibenarkan. Dengan kita membaca buku, sedikit banyak kita akan mengetahui perkembangan dunia. Hal ini yang menjadi dasar kita untuk memperjuangkan ini, kita melihat segudang problematika dalam masyarakat yang membuatnya semakin jauh dari kemajuan.

Kita melihat ada upaya yang sangat masif yang membuat masyarakat semakin jauh dari kemajuan. Ada kaitannya dengan penjajahan terhadap akal sehat masyarakat agar mereka sangat mudah diatur dan dibodohi oleh sistem penindasan. Mulai dari tayangan-tayangan di televisi yang sangat minim pengetahuan dan pembelajaran yang disuguhkan pada jam-jam strategis dari pagi hingga malam untuk menarik orang-orang supaya meninggalkan buku dalam kesehariannya dan beralih ke tontonan yang sangat minim manfaat. Masyarakat digiring untuk selalu memandangi televisi, yang dampaknya adalah menurunnya intensitas masyarakat tersebut untuk berinteraksi dengan buku. Dengan keadaan yang seperti ini, jelas bangsa ini akan semakin bodoh dan akan semakin mudah untuk dijajah secara pemikiran. Apalagi, pemerintah terlalu 'loyo' untuk mengendalikan tayangan-tayangan di televisi. Tayangan percintaan, kekerasan, konflik remaja dan lainnya dapat dikonsumsi secara bebas oleh anak dibawah umur yang jelas tak memberi manfaat sedikitpun untuk mereka.

Upaya pembodohan yang lain adalah sistem pendidikan yang sangat tidak layak. Berulangkali penulis menyampaikan tentang sistem pendidikan di Indonesia yang amburadul seperti pendidikan yang mengeksploitasi, 'gaya bank', dan lainnya yang membuat generasi kita berpikiran kerdil untuk terus mengejar prestasi ijazah, nilai, dan prospek untuk karir dan pendapatannya kelak. Padahal, makna pendidikan adalah pembebasan, Pendidikan yang menurut John Dewey adalah sebagai upaya pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual maupun emosional malah diartikan sebagai jalan menuju prospek karir. Harus diakui, sistem pendidikan yang seperti ini jika terus menerus tidak ada perubahan akan menciptakan peradaban yang dangkal.

Lebih parah lagi upaya pembodohan yang selanjutnya adalah peran orang tua. Sebetulnya, ini ada korelasinya dengan pendidikan Indonesia yang berkutat pada konsep penindas-tertindas. Orang tua yang mengalami penindasan ekonomi, akan selalu berorientasi bagaimana agar anaknya dapat sekolah, dapat ijasah, dan ujungnya hidup enak. Imbasnya adalah, anak akan terus dijejali nasehat-nasehat yang justru memenjarakannya, anak-anak akan dijauhkan dari pengembangan potensi diri, daya hidup bersosial, hingga kreativitasnya. Anak-naknya hanya akan diarahkan agar bagaimana caranya dapat nilai yang baik, dapat kuliah, dan kerja. Anak-anak hanya dicetak bukan dikembangkan, menyedihkan, kepolosan mereka harus digantikan dengan ketertindasan atas nama berhala prospek dan karir masa depan.

Oleh karena kondisi tersebut, kami tergerak untuk mengambil peran dalam melepaskan anak bangsa dari penindasan dan pembodohan akal sehat. Kita harus mulai mendekatkan mereka pada buku-buku yang mampu mengembangkan potensi mereka, menambah wawasan mereka, sehingga muncul generasi bangsa yang tidak buta dalam membaca dunia. Dalam perjuangannya, kita akan ikut memperjuangkan pengadaan beberapa Taman Baca Masyarakat yang tersebar di penjuru negeri. Salah satunya adalah Pengadaan Taman Baca Masyarakat di lingkungan Gondang Ngisor, RT. 07, RW. 02, Kelurahan Manggong, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Buku adalah Jendela dunia
Project ini dilaksanakan oleh Aktivis-aktivis Langit Tjerah bersama Aktivis-aktivis Pemuda Garuda 72. Mengapa Langit Tjerah harus ikut dalam project ini, mengapa tak Pemuda Garuda 72 saja? Jawabnya ialah, sebab salah satu anggota Langit Tjerah ada yang tumbuh dan dibesarkan di lingkungan itu dan sekarang sudah berdomisili ke Bekasi. Hal itu lantas tidak membuat lupa dengan kemajuan kampung halaman, melainkan malah ikut membangun kampung halaman dengan memperjuangkannya dari lain tempat yang justru lebih dekat dengan Ibukota yang notabene 'berserakan' aktivis-aktivis seantero Indonesia. Hal tersebut justru memudahkan untuk ikut membangun kampung halaman. Dengan adanya kolaborasi tersebut akan memudahkan dalam mencari donasi, membangun jaringan, dan lainnya. Kedepannya, Langit Tjerah akan terus membantu untuk ikut memajukan lingkungan Gondang Ngisor, dan lingkungan-lingkungan lainnya.

Gapura Gang Menuju Gondang Ngisor
Lingkungan Gondang Ngisor RT 07, RW. 02, Kelurahan Manggong terletak di Kabupaten Temanggung. Sebuah Kabupaten yang terkenal dengan hasil komoditi pertanian dan perkebunan berupa tembakau yang sangat baik. Dipimpin oleh Bpk. Suwarto selaku ketua RT, warga RT. 07 secara bersama-sama menuju kemajuan untuk warganya sendiri dan warga di lingkungan sekitarnya. Mata pencaharian warga lingkungan Gondang Ngisor bervariasi, ada petani, pedagang, pegawai, dan lainnya, dengan tingkat kesejahteraan yang beragam. Namun kepedulian antar-warganya sangat baik, sehingga semua bergotong-royong, berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Lingkungan Gondang Ngisor terletak sebelah selatan Pasar Adiwinangoen di Kecamatan Ngadirejo, pusat kegiatan transaksi jual beli kebutuhan hidup sehari-hari. Kegiatan sosial di lingkungan ini sangat baik, sangat minim terjadi gesekan antar-warganya masih memegang teguh budaya ketimuran, dan sangat berbeda dengan kehidupan sosial di Ibukota yang sangat rawan terjadi gesekan. Bukan bermaksud untuk membandingkan, namun bertujuan untuk menjadikannya contoh bagi keberlangsungan kehidupan sosial di Ibukota. Andaikan di Ibukota yang merupakan wajah Indonesia masih memegang nilai kehidupan adat ketimuran, kebersamaan dan welas asih, maka gesekan-gesekan yang mencoreng wajah Indonesia tersebut dapat diselesaiakan secara baik-baik dan tak menimbulkan luka bagi kehidupan sosial.
Kegiatan Kerja Bakti Warga
Persiapan Malam Tirakatan Hari Kemerdekaan
Malam Tirakatan Hari Kemerdekaan
Mengenalkan, Pemuda Garuda 72 adalah kelompok pemuda di lingkungan Gondang Ngisor yang aktif melakukan kegiatan-kegiatan sosial baik di lingkungan sendiri maupun di lingkungan lain. Kelompok ini berisikan pemuda-pemudi yang berusia 17-35 tahun, walaupun ada beberapa 'pemuda senior' alias sudah berumur, itu untuk menjadi penyeimbang dan pengayom muda-mudi yang masih belia. Kelompok pemuda ini dipimpin oleh Sdr. Hariyanto (Cak Hari) yang merupakan aktivis juga, yang menjadi koordinator muda-mudi lain agar selalu aktif membangun lingkungan sekitarnya, terkhusus lingkungannya sendiri. Kegiatan kelompok pemuda ini meliputi bersih desa, kerja bakti, senam kesehatan jasmani, kegiatan keagamaan, kegiatan hari raya keagamaan, kegiatan hari kebangsaan, dan masih banyak lagi. Susunan Organisasi Pemuda Garuda 72 adalah sebagai berikut,

- Pelindung     : Suwarto
- Penasehat    : Tarban
- Ketua          : Hariyanto
- Sekretaris    : Adi Mukti W.
- Bendahara   : Lisa Kustiana
- Humas         : Prasetyo

Kegiatan Garuda 72 (Persiapan Tirakatan Hari Merdeka)
Kegiatan Garuda 72  (Persiapan Tirakatan Hari Merdeka)

Mengenai Taman Baca Masyarakat yang akan diperjuangkan, berikut informasinya,

- Nama TBM         : TBM Garuda 72

- Lokasi TBM        : Teras Rumah Sdr. Hariyanto (Cak Hari), Gondang Ngisor RT. 07, RW. 02, Kelurahan Manggong, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah

- Luas Bangunan     : 3x2 Meter

- Kebutuhan            :
Rincian Kebutuhan TBM

- Kebutuhan Buku    :
1.                 Buku referensi sekolah
2.                 Buku dongeng/bergambar
3.                 Buku pengetahuan umum
4.                 Buku Keagamaan
5.                 Buku Novel
6.                 Artikel dan majalah
7.                 Buku mewarnai
8.                 Dan bahan bacaan lainnya.

Rencananya, kegiatan dalam TBM tersebut tidak hanya membaca buku saja, melainkan ada kegiatan-kegiatan lain untuk mengembangkan kreativitas seperti membuat kerajunan dari barang bekas, belajar menggambar dan mewarnai, belajar membuat kolase, belajar untuk anak-anak, dan masih banyak lagi. Bukan hanya itu, lokasi TBM juga bisa dijadikan tempat berkumpul bagi masyarakat mulai anak-anak, remaja, hingga orang tua untuk berinteraksi dan mempererat persaudaraan.

Mengenai perijinan, dari Kelurahan setempat sudah diberikan berupa SK untuk operasional. Sehingga TBM Garuda 72 ini sudah legal dan terdaftar di lembaga administrasi setempat.

Untuk itu, bagi yang berminat untuk berdonasi dalam pembangunan TBM ini, silahkan bisa hubungi Contact Person kami,

0857-1005-6745 - Andy
0856-4020-3682 - Arun
0857-1120-4725 - Vrandes
081-328-006-101 - Cak Hari

Donasi bisa berupa buku bekas, buku baru, majalah, artikel, alat tulis dan lainnya.

Be Human for Humanity!
For Peace, Love, and Humanity. Come join us!




Written by : Vrandes S. Cantona - Langit Tjerah
Big thanks to readers!





Read more ...

Monday, August 14, 2017

Sajak Cinta, Sajak Kehidupan


Rindu
Oleh : Dedi. S.

Dimana?
Ya kamu dimana?
Di bumi? Di bumi yang mana?
Aku tak pernah lagi melihat mu, menggapai mu, apalagi berjumpa

Apa mungkin aku? Aku yang terlalu naif menunggu beribu purnama
Menunggu, menunggu, hingga menunggu

Tersipuh dibalik lentera padam membuat nyaliku mengeram
Awal mengawali hari, akhir mengakhiri hari
Begitu pula dengan ku
Tetap ku terdiam terpojok dalam titah "Aku Rindu Kamu"




Tangan Kiri
Oleh : Dedi. S.

Manismu memohok kerongkongan ini
Menjebakku kedalam belerang pilu nan semu

Fantasipun mengolok kesendirian ku

Membawa fase ku, dimana meneguk racun keterpurukan




Jiwa Rindu
Oleh : Dedi. S.

Kenapa?
Sampai kapan aku bertengkar pada dingin gelap?

Pilu ini membuat gemetar apa yang ku eratkan
Angin rindu membangunkan jiwa pujangga ini
Secarik kertas pun kukepal erat dengan terbalutkan tinta pena merana
Apakah ini kutukan dari bunga yang layu?

Menjajarkan ku dalam keramaian yang tandus
Terhempas bak kerikil tak berbeban
Bagai ku berjalan diatas laut, tak sanggup lalu tenggelam






Written By : Dedi. S. - Langit Tjerah
Editor : Vrandes

Read more ...

Tuesday, August 8, 2017

Indonesia [Tak Pernah] Bisa Lepas Dari Penjajahan


[1]. Indonesian Flag
Ratusan tahun Bangsa Indonesia mengalami penjajahan yang diluar batas kemanusiaan. Penghisapan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia, akal sehat, hingga peniadaan nasib baik. Dari kongsi dagang Belanda hingga penjajahan oleh Jepang, sudah pernah mengangkangi derajat hidup bangsa ini. Melakukan kesewenang-wenangan dan seenaknya sendiri menciptakan kelas-kelas masyarakat baru sesuai kepentingannya. Walaupun mereka memiliki tujuan yang berbeda-beda, dari sudut pandangnya pun bisa berbeda juga, namun kenyataannya sama, yaitu menindas. Penjajahan dari kaum penindas mencakup segala aspek kehidupan, mulai penjajahan fisik, sistem sosial dan budaya, hingga penjajahan intelektual. Penjajahan fisik sangat mudah dikenali sebab bentuknya nyata, pembunuhan, genosida, penyiksaan dan lainnya. Namun penjajahan akal sehat dan sistem sosial jauh lebih susah diselidiki dan diberantas. Kebetulan juga bangsa Indonesia sangat mudah untuk dipecah-belah jika sudah dihadapkan pada kepentingan dan syahwat. Sehingga mudah sekali kaum penindas melakukan lobi-lobi dan memecah belah, sesudahnya kaum penindas melakukan kebejatan sesuai kehendak dan nafsunya. Hal itu berlangsung hingga beratus-ratus tahun dan diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Ceritanya mungkin sedikit berubah ketika masa penjajahan kolonial, namun memiliki tema yang tetap sama, penindasan. Penjajah mulai memoles wajahnya hingga terkesan sedikit halus dan menarik. Contohnya saja politik balas budi yang dipelopori oleh Brooshooft dan Van Deventer sebagai kritik terhadap sistem tanam paksa. Namun, kenyataannya Politik Etis tersebut dijadikan sistem penjajahan yang bermuka lebih halus. Politik Etis mencakup tiga tuntutan : Irigasi, Migrasi, dan Pendidikan. Dalam bidang Irigasi, kenyataannya hanya menjangkau tanah-tanah para tuan dan perusahaan swasta milik Belanda sendiri, kaum pribumi sama sekali tak tersentuh manfaatnya program ini. Dalam bidang Migrasi, orang-orang pribumi disebar ke wilayah-wilayah yang dibutuhkan tenaga kerja untuk perkebunan, atau perusahaan milik penindas. Mereka hanya dijadikan budak di lain daerah, bukan mengangkat derajat hidupnya malah semakin ditindas dan terasingkan. Dalam bidang pendidikan, hanya keturunan bangsawan atau tuan-tuan saja yang bisa mendapatkannya. Sedangkan anak-anak pribumi banyak yang tak bisa mendapatkannya. Dalam pendidikan juga mulai tercipta kelas-kelas yang diskriminatif, yaitu kelas anak-anak pegawai dan anak-anak pribumi biasa. Konten pendidikannya pun disesuaikan dengan kepentingan si penindas, jika sekiranya tidak memberikan manfaat untuk kaum penindas, maka pendidikan itu tidak diberikan. Hal itu pun berlangsung hingga beberapa generasi selanjutnya.

Suasana dunia di masa World War II semakin tidak menentu, hingga akhirnya penjajahan diganti oleh Jepang. Namun jepang hanya menguasai beberapa tahun saja, tujuannya pun hanya untuk memperoleh sumber daya dan finansial guna kepentingan perang. Jepang tidak semassif penjajah sebelumnya yang mampu mengubah sistem dan tatanan sosial bahkan akal sehat penduduk pribumi dapat pula dikebiri. Setelah kekalahan Jepang, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya sebagai bangsa terbebas. Indonesia muncul sebagai negara baru ditengah kemelut persoalan dunia pasca Perang Dunia. Ditunjang Indonesia berada dalam wilayah yang strategis, sehingga sangat disayangkan oleh para penindas jika Indonesia lepas dari belenggunya.

[2]. Proklamasi
Bangsa ini pada tahun 1945 menyatakan kemerdekaannya, berkat perjuangan fisik rakyatnya maupun perjuangan diplomatis beberapa elit politiknya. Namun, apakah betul Indonesia merdeka? ataukah Indonesia hanya mengalami perubahan model penjajahan baru?. Mengingat bangsa Eropa menjajah beratus-ratus tahun, apakah mungkin Indonesia bisa lepas dari pengaruhnya?. Belum lagi ditambah penjajahan Jepang, lengkap sudah model-model penindasan yang dialami bangsa ini. Lalu bagaimanakah kemerdekaan itu?.

Dalam pertemuan antara Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Agus Salim, Tan Malaka datang tanpa undangan dan mengatakan bahwa, “Kepada kalian para sahabat, tahukah kalian kenapa aku tidak tertarik pada kemerdekaan yang kalian ciptakan. Aku merasa bahwa kemerdekaan itu tidak kalian rancang untuk kemaslahatan bersama. Kemerdekaan kalian diatur oleh segelintir manusia, tidak menciptakan revolusi besar. Hari ini aku datang kepadamu, wahai Soekarno sahabatku. Harus aku katakan bahwa kita belum merdeka, karena merdeka haruslah 100 persen.”. Tan Malaka adalah seorang Bapak Republik yang tidak diterima oleh bangsanya sendiri. Namanya dijauhkan dari sejarah perjuangan yang konseptual. Bagi Tan, kemerdekaan yang berhasil dikumandangkan pada 1945 hanyalah kemerdekaan milik kaum elit, bukan milik rakyat. Kemerdekaan kaum elit yang bahagia mendadak karena menjadi borjuis. Kemerdekaan ini hanya dapat dirasakan oleh pemimpinnya saja, sedangkan rakyat harus tetap menghadapi penindasan yang dilakukan oleh wakilnya sendiri. “Esok, adalah hari dimana aku akan menjelma menjadi musuh kalian, karena aku akan tetap berjuang untuk merdeka ‘seratus persen’.” Begitu ungkap Tan Malaka. Jika kita melihat dari sudut Tan Malaka, benar memang bangsa ini tidaklah merdeka, yang merdeka hanyalah sebagian elit politiknya saja, sedangkan rakyatnya tidak.

Sehingga setelah bangsa ini dikatakan merdekapun kita masih menjumpai segala jenis penindasan yang telah berubah modelnya. Baik dari demografi, sumber daya alam, ideologi, politik, sosial budaya, edukasi, bahkan ekonomi. Dinamika perpolitikan hanyalah ‘drama’, tak pernah menyelesaikan persoalan ketertindasan. Sukarno digulingkan dan digantikan Soeharto hanyalah tontonan ‘drama non-kolosal’ yang tak pernah menyelesaikan permasalahan. Justru malah lebih parah, kita menghadapi penjajahan New Imperialism yang dilakukan oleh elit penguasa global. Kita dihadapkan dengan oligarki politik oleh beberapa politisi Orde Baru yang memperkaya diri dan keluarganya dengan cara menindas dan menabung beban bagi rakyat. Atas nama pembangunan, dewa-dewa kemakmuran dikangkangi dan di cor dengan semen-semen palsu. Gedug-gedung sekolah dibangun namun semakin jauh dari makna pendidikan, lumbung-lumbung padi dibangun tapi malah semakin dekat dengan kelaparan, Pabrik-pabrik dibangun namun jauh dari kemajuan. Pembangunan, adalah kedok pemerintah Orde Baru (baca : rezim penindas) untuk hutang ke luar negeri dan menjajakan diri kepada investor, yang hasilnya dikorupsi dan dibagi-bagi kepada sanak family. Rakyat hanya diberikan ampasnya yang tak seberapa, namun dibebani hutang dan masa depan yang penuh dengan kemalangan.

Sebagian besar anak-anak hidup namun jauh dari pendidikan, sedangkan mereka yang dekat dengan pendidikan hanya mengejar prospek dan cita-cita menjadi pejabat dan ‘negarawan’. Inilah penjajahan yang lebih biadab, anak bangsa menyikut nasib anak yang lainnya. Jelas-jelas ini warisan pendidikan masa kolonial, warisan otak-otak penindas. Tenaga pendidik yang sama sekali tak pernah membahas tentang pembebasan, namun hanya berkutat dalam keinginan memutar keadaan. Rakyat disubsidi untuk mengecohnya dari persoalan yang sebenarnya, hutang dan tipu-tipu. Penindasan lain yang tak kalah mengerikan adalah penindasan kemanusiaan. Setiap orang yang melayangkan kritik pasti dibungkam bahkan dihilangkan nyawanya, nyawa tak pernah berarti jika diadu dengan roda kekuasaan dan perpolitikan. Kita dapat menyaksikan hilangnya beberapa aktivis yang melakukan perlawanan terhadap rezim penindas, bahkan sampai peristiwa penembakan yang sampai menghilangkan nyawa seseorang beratasnamakan negara dan stabilitas. Kemerdekaan Indonesia hanya mampu membebaskan penindasan fisik yang dilakukan oleh bangsa eropa, namun tak mampu membebaskan penindasan sistem oleh bangsa adikuasa yang dititipkan pada elit politik kita. Politisi-politisi dan pejabat-pejabat hanya ‘meneruskan mandat’ dari penjajah imperial. W.S Rendra dalam puisinya yang berjudul Maskumambang mengatakan “Bangsa kita kini seperti dadu, terperangkap di dalam kaleng hutang yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa tanpa kita bisa melawannya.”.

[3]. Reformasi
Soeharto berhasil ditumbangkan, digantikan Orde Reformasi dimana amandemen-amandemen dipercaya dapat mengubah nasib bangsa. Perubahan sistem perpolitikan hingga perubahan undang-undang digulirkan namun tetap sama-sama bernada penjajahan. Kita melihat bahwa memang penjajahan fisik sudah nyaris tidak ada, namun berganti ke penjajahan sistem. Kita dijajah dengan hutang peninggalan Orde sebelumnya, yang mana dengan mengatasnamakan pembangunan bisa seenaknya membebani rakyatnya segudang derita. Hutang tersebut menjerat dan mencekik generasi selanjutnya sehingga bangsa ini tak mampu bernafas sebagaimana mestinya. Benar kata Rendra bahwa bangsa ini terperangkap seperti dadu dalam kaleng hutang yang dikocok-kocok tanpa bisa melawan. Itulah, yang mana kita lihat sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia [tak pernah] bisa lepas dari penjajahan. Kita saja tak bisa lepas dari penjajahan wakil kita sendiri, bagaimana mungkin bisa lepas dari penjajahan penguasa global?. Bangsa ini dijerat oleh kebijakan-kebijakan pebisnis dan pemilik modal skala global yang bajingan. Sebagaimana yang dibahas oleh John Pilger dalam film dokumenternya yang sudah sangat familiar “The New Rulers of The World”, bahwa penjahan baru itu bernama globalisasi. John Pilger mempertanyakan arti globalisasi, “... ataukah ini (globalisasi) semata-mata adalah cara lama yang dulunya dilakukan pada jaman raja-raja dan sekarang diteruskan oleh perusahaan-perusahaan multinasional dengan berbagai lembaga keuangan dan pemerintah sebagai penopangnya.”.

Kenyataannya bahwa memang kita belum pernah bisa merdeka, kita hanya mengalami fase-fase penjajahan yang berbeda pelaku dan metodenya. Dalam liputan spesial itu dibahas tentang penjajahan gaya baru ‘globalisasi’ di Indonesia, khususnya setelah tumbangnya rezim Sukarno dan digantikan Soeharto, hingga masa setelah reformasi. Dengan dimulai masa rezim Soeharto, hingga kini bangsa ini harus menanggung masa penjajahan dikte IMF dan World Bank, belum lagi utang kepada bangsa lain yang sebagai syaratnya harus mau didikte secara politik, sosial maupun ekonomi. Sangat disayangkan negeri yang begitu kayanya akan sumber daya harus menjadi pengemis dan hidup dalam ketertindasan. Buruh pabrik harus menjadi robot-robot bernyawa untuk mendapat penghidupan yang jauh dari kata layak. Bayaran Ronaldo untuk mengiklankan sepatu branded luar negeri yang pabriknya di Indonesia mampu untuk membeli tenaga seratus buruh rendahan pembuatnya selama setahun penuh. Kenyataan yang sangat tidak masuk akal dan tidak dapat diterima secara manusiawi. Penjajahan biadab yang mengatasnamakan ‘pembangunan’dan kemajuan jaman. Petani-petani hanya mampu memandang makanan di balik etalase restoran multinasional tanpa bisa membelinya. Hasil panennya dimainkan oleh kartel dan monopoli cukong-cukong bermuka ‘sok baik’. Harga beras dibeli secara murah namun jika sudah ditambahkan merek, tajam harganya melebihi tajam arit petaninya, biadab. Anak-anak miskin hanya mampu bersekolah ketika terlelap di malam hari, mimpi yang tak kunjung terealisasi. Adapun jikalau bisa bersekolah, orang tuanya lah yang kelimpungan mencari biaya, beasiswa ‘mandeg’ disikat iuran komite sekolah. Penegakan hukum juga hanya menjadi omong kosong dan bualan penguasa, dengan mudahnya tarik ulur untuk kepentingan politis. Katakanlah seperti kasus hilangnya aktivis ketika masa reformasi, setiap hendak pergantian kekuasaan pasti menjadi janji, namun hanya menjadi bualan dan tak pernah serius dibuktikan. Begitu pula dengan penuntasan kasus pelanggaran HAM 1965 dimana ratusan ribu nyawa dihilangkan atas nama pembersihan dan stabilitas nasional. Penyelesaian kasusnya seperti selalu tersendat-sendat tak pernah lancar dan sebentar muncul sebentar tenggelam.

Kenyataannya sekali lagi kita tegaskan, bahwa Indonesia [tak pernah] bisa lepas dari penjajahan, sebab dari awal mulanya saja memang sudah dirancang untuk tidak merdeka. Kita banyak mengadopsi sitem kolonial, yang mana sampai sekarang masih dipercaya relevan untuk mengatur negara. Kita dicetak menjadi peradaban yang berpikiran dangkal, dididik dalam suasana dan sistem warisan kolonial. Sehingga kita semakin dijauhkan dari makna pembebasan, kita hanya disibukkan dalam konsep penindas-tertindas.

Namun, masih ada harapan sekecil apapun itu. Kita masih memiliki potensi untuk melepaskan diri dari penindasan, hanya saja kita mau atau tidak. Dalam mencapai kemerdekaan yang sebenarnya, kita perlu mengawalinya dengan melakukan revolusi dari dalam diri kita sendiri. Dengan revolusi kecil itu, yakinlah kita akan semakin disatukan dengan orang-orang lain yang juga melakukannya. Sehingga suatu saat jebollah sistem penindasan yang menjerat kita selama ini karena People Power. Perlawanan dibutuhkan untuk mengikis habis ketertindasan.
Panjang umur perlawanan!

Sumber gambar :


 
Big Thanks To Readers!

Written by : Vrandes Setiawan Cantona

 
Read more ...

Monday, August 7, 2017

Dokumentasi Perpustakaan Jalanan

Gerakan Literasi, secercah harapan untuk kemajuan...


Perubahan bukanlah sebuah tujuan atau bahkan angan-angan, perubahan adalah proses. Perubahan adalah jalan, bukan sebuah 'keniscayaan'. Kita menuntut perubahan dalam kehidupan, namun kita tak pernah berusaha apa-apa. Banyak kata-kata motivasi yang diobral hanya untuk sebuah perubahan. Kata-kata suci dijual untuk membawa perubahan. Tetapi realitanya tak juga menemukan sebuah perubahan, ya memang perubahan bukan sebuah tujuan. Sehingga orang takkan pernah menemukannya, melainkan menjalankannya. Aku sebut perubahan sebagai 'Revolusi'. Bukan supaya lebih kelihatan 'aktivis' maupun seorang 'pemberontak', melainkan makna Revolusi itu lebih dalem dan lebih ngena daripada perubahan itu sendiri. Revolusi bukan mengubah sebuah permukaan, namun hingga akar-akarnya. Mengenai revolusi sendiri, mari kita bicarakan revolusi dalam 'skala kecil'. Sebab, sebelum membawa revolusi yang besar, haruslah dimulai dari sesuatu yang kecil namun memberikan arti. Seperti penjelasan Jim Morrison bahwa "Tidak ada revolusi berskala besar sebelum munculnya revolusi personal di tingkat individual.". Hal inilah yang membuat Langit Tjerah merasa berhutang tanggung jawab jika tidak ikut dalam membawa revolusi. Salah satunya dalm project kali ini, dalam bidang Literasi. Sebelum jauh, kita bahas dulu apa itu Literasi. Literasi berasal dari bahasa Inggris, Literacy yang berarti keberaksaraan atau melek huruf. Atau secara sederhananya berarti kemampuan seseorang untuk membaca, menulis dan daya tangkapnya. Mengapa literasi berpengaruh terhadap perubahan?. Jelas sangat berpengaruh, sebab dalam perubahan skala individual, seorang manusia harus mampu membaca sesuatu diluar dirinya untuk pula membaca dirinya sendiri atau identitasnya. Identitas akan mempengaruhi subjektivitas, yang mana subjektivitas akan mempengaruhi pula terhadap proses perubahan. Kemampuan baca tulis akan mempengaruhi subjektivitas seorang individu dalam sebuah perubahan. Sehingga mungkin ditemukan statemen "Tak bisa membaca tulis berarti tidak ada kemajuan.". Hal itu bisa sedikit dibenarkan, tapi juga tidak bisa dianggap sebagai sebuah ketetapan.

Atas keterkaitan kemampuan baca tulis tersebut terhadap perubahan (baca : revolusi), Langit Tjerah melakukan pengamatan di lingkungan sosial. Bahwa pada kenyataanya lingkungan sosial kita masih sangat rendah dalam literasi. Oleh karena itu, sebuah kekhawatiran terjadi, "Bangsa ini tak akan bisa terbebas dari penindasan akal sehat, jika masih jauh dengan ilmu dan pengetahuan.". Atas realita itu, kami mengadakan social project berupa Perpustakaan Jalanan dan Donasi Buku (sudah dijelaskan pada postingan sebelumnya). Kegiatan tersebut dilaksanakan setiap hari minggu, mulai pagi hingga siang atau bahkan sampai sore. Karena kami juga memiliki kesibukan lain, ada yang kuliah, kerja, atau usaha. Maka kami menyempatkan waktu pada hari minggu untuk melaksanakan tanggung jawab sosial yang mana tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kami.

Berikut dokumentasi kegiatannya,

Lapak Buku
Baca buku gratis


Interaksi Dengan Pembaca
Selain itu, kami juga menyalurkan Donasi Buku yang telah kami kumpulkan dari sumbangan donatur sejumlah 25 buku kepada Perpustakaan Jalanan Bekasi yang dipelopori oleh mas Bayu, dan kegiatannya dilaksanakan setiap dua minggu sekali di taman-taman Bekasi dan sekitarnya. Kedepannya kami akan tetap menjalin kerjasama dengan Perpustakaan Jalanan Bekasi.

Penyaluan Donasi Buku

Diskusi Dengan Pengurus Perpus Jalanan Bekasi
Perpus Jalanan Bekasi
Kegiatan ini akan dilaksanakan tiap minggu berupa lapak baca buku gratis dan menyalurkan donasi buku ke pihak yang berhak menerima.

Untuk kedepannya kami masih membuka kesempatan bagi siapa saja yang berkenan mendonasikan berupa buku, perlengkapan, maupun uang tunai untuk kami salurkan kepada pihak-pihak yang berhak menerima.
Bagi yang berminat mendonasikan bantuan terbaiknya, silahkan hubungi contact person kami di,

0857-1005-6745 - Andy
0856-4020-3682 - Arun
0857-1120-4725 - Vrandes

Untuk mendiskusikan mekanisme donasinya.

Mari ikut berpartisipasi dalam perjuangan literasi, jadilah bagian dari kemanusiaan!
Be human for Humanity!

"Satu ons aksi lebih berharga daripada satu ton teori."
-Friedrich Engels-




Big Thanks!
Read more ...

Thursday, August 3, 2017

GO[O]D TIME

Sebuah tulisan motivasi...

[1]. Succes Ahead
Suatu kali aku ngobrol santai dengan seorang teman, dia salah satu teman dekat yang seperti biasa kita saling bertukar pikiran membahas masalah antah-berantah dari disegala arah. Kami biasa membahas apa saja 'ngalor-ngidul nggak jelas hingga lupa sudah jam berapa. Mulai dari masalah kehidupan, hingga problema pribadi yang tak sampai merambah privasi. Singkatnya, sampailah pada pembahasan yang ringan namun cukup berbobot. Temenku ingin membuka usaha.

"Kapan lo mau mulai usaha?", Aku menyeletuk.

"Selow broh. Toh juga nanti akan indah pada waktunya.", Jawabnya sambil senyam-senyum ala motivator.

Jawaban yang sedikit menjengkelkan namun aku tak punya hak sama sekali untuk menilai bahwa itu keliru, mungkin hanyalah masalah perspektifnya aja. Aku coba memahaminya, namun kenyataannya kebiasaan temenku itu tak sebanding dengan jawabannya yang 'lumayan' terlihat bijak. Traktir temen jangan ditanya lagi, ngerokok rajin, royal pasti, travelling tekun, hingga ‘muncak’ dan susur pegunungan udah jadi rutinitas mingguan. Tak sebanding dengan jawabannya tadi yang “akan indah pada waktunya” sementara dia tak berbuat apa-apa untuk usahanya. Jawaban ‘bijak’ darinya justru diimbangi rasa malas dan tak mau berkorban.

[2]. Ilustrasi
Hingga aku mulai sedikit berani untuk mendebatnya tentang makna “Indah pada waktunya” itu sendiri. Bagiku, memang sebenarnya segala sesuatu akan indah pada waktunya, hanya saja yang jadi permasalahan disini adalah kemalasan dan kurangnya pengorbanan. Padahal yang dibutuhkan untuk mencapai mimpi adalah tekun dan mengorbankan apapun miliknya, baik untuk usahanya maupun untuk memberi manfaat pada kehidupan di sekitarnya. Malas dan tidak mau bekerja, lalu menunggu keajaiban datang adalah suatu hal yang sia-sia dan penuh omong-kosong. Kalau memang betul mempercayai bahwa semua akan indah pada waktunya, akan pasti tekun dan bekerja keras untuk menggapai cita-citanya walaupun pasti ada kegagalan yang menyambutnya disetiap jalan.

Kegagalan adalah momen indah yang Tuhan berikan untuk kita syukuri, karena dari kegagalan itu Dia ingin kita lebih giat belajar dan jitu dalam mencari akar permasalahan. Tentu dengan hasil yang tidak mengecewakan bagi diri sendiri dan pastinya membawa manfaat bagi kehidupan di sekitar. Perkara kesuksesan, itu adalah momen dari Tuhan sebagai penghargaan bagi kegagalan-kegagalan kita sebelumnya.

[3]. Success
Intinya, kalau kita punya mimpi kita harus mau bekerja dan berkorban apapun bentuknya. Kalau saja kita menghadapi kegagalan ditengah jalan, tidak perlu kecewa! Hargai momen kegagalan kita dan perbaiki, lalu bangkit kembali!. Nikmatilah waktu berproses hingga kita menerima kesempatan sukses Dari-Nya. Ada yang bilang bahwa “Hasil tak pernah membohongi proses”, Pendapat ini bisa dibetulkan. Namun perlu diingat, walau hasil tak pernah membohongi proses, ketika kita sudah menerima hasil jangan menjadikan kita lena dan tak berproses lagi.

Jangan malas!

...

Saling lontar pendapat udah mulai panas dan dari situ aku dapat menggali ilmu darinya, begitupun mungkin dia juga dapat menggali ilmu dariku. Aku sangat menyadari bahwa pendapatku tak dapat dipaksakan untuknya, akupun berhak untuk tidak menyetujui pendapatnya. Semua hanyalah masalah tafsir, setuju atau tidak setuju adalah hal yang biasa, yang membuatnya luar biasa adalah argumen yang mendasarinya. Disitulah kita mulai harus mengedepankan peranan ‘toleransi’.

[4]. Tolerate
Happy Go[o]d Time, God Bless!


 Sumber Gambar :


Written By : Pieter Tupanwael – Langit Tjerah
Editor : Vrandes
Read more ...
Designed By Langit Tjerah