Langit Tjerah menerima donasi buku bekas, buku baru, maupun alat pendidikan yang lainnya untuk kami salurkan kepada Komunitas Pendidikan maupun Taman Baca yang membutuhkan, silahkan hubungi contact person. Terima Kasih.

Tuesday, August 8, 2017

Indonesia [Tak Pernah] Bisa Lepas Dari Penjajahan


[1]. Indonesian Flag
Ratusan tahun Bangsa Indonesia mengalami penjajahan yang diluar batas kemanusiaan. Penghisapan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia, akal sehat, hingga peniadaan nasib baik. Dari kongsi dagang Belanda hingga penjajahan oleh Jepang, sudah pernah mengangkangi derajat hidup bangsa ini. Melakukan kesewenang-wenangan dan seenaknya sendiri menciptakan kelas-kelas masyarakat baru sesuai kepentingannya. Walaupun mereka memiliki tujuan yang berbeda-beda, dari sudut pandangnya pun bisa berbeda juga, namun kenyataannya sama, yaitu menindas. Penjajahan dari kaum penindas mencakup segala aspek kehidupan, mulai penjajahan fisik, sistem sosial dan budaya, hingga penjajahan intelektual. Penjajahan fisik sangat mudah dikenali sebab bentuknya nyata, pembunuhan, genosida, penyiksaan dan lainnya. Namun penjajahan akal sehat dan sistem sosial jauh lebih susah diselidiki dan diberantas. Kebetulan juga bangsa Indonesia sangat mudah untuk dipecah-belah jika sudah dihadapkan pada kepentingan dan syahwat. Sehingga mudah sekali kaum penindas melakukan lobi-lobi dan memecah belah, sesudahnya kaum penindas melakukan kebejatan sesuai kehendak dan nafsunya. Hal itu berlangsung hingga beratus-ratus tahun dan diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Ceritanya mungkin sedikit berubah ketika masa penjajahan kolonial, namun memiliki tema yang tetap sama, penindasan. Penjajah mulai memoles wajahnya hingga terkesan sedikit halus dan menarik. Contohnya saja politik balas budi yang dipelopori oleh Brooshooft dan Van Deventer sebagai kritik terhadap sistem tanam paksa. Namun, kenyataannya Politik Etis tersebut dijadikan sistem penjajahan yang bermuka lebih halus. Politik Etis mencakup tiga tuntutan : Irigasi, Migrasi, dan Pendidikan. Dalam bidang Irigasi, kenyataannya hanya menjangkau tanah-tanah para tuan dan perusahaan swasta milik Belanda sendiri, kaum pribumi sama sekali tak tersentuh manfaatnya program ini. Dalam bidang Migrasi, orang-orang pribumi disebar ke wilayah-wilayah yang dibutuhkan tenaga kerja untuk perkebunan, atau perusahaan milik penindas. Mereka hanya dijadikan budak di lain daerah, bukan mengangkat derajat hidupnya malah semakin ditindas dan terasingkan. Dalam bidang pendidikan, hanya keturunan bangsawan atau tuan-tuan saja yang bisa mendapatkannya. Sedangkan anak-anak pribumi banyak yang tak bisa mendapatkannya. Dalam pendidikan juga mulai tercipta kelas-kelas yang diskriminatif, yaitu kelas anak-anak pegawai dan anak-anak pribumi biasa. Konten pendidikannya pun disesuaikan dengan kepentingan si penindas, jika sekiranya tidak memberikan manfaat untuk kaum penindas, maka pendidikan itu tidak diberikan. Hal itu pun berlangsung hingga beberapa generasi selanjutnya.

Suasana dunia di masa World War II semakin tidak menentu, hingga akhirnya penjajahan diganti oleh Jepang. Namun jepang hanya menguasai beberapa tahun saja, tujuannya pun hanya untuk memperoleh sumber daya dan finansial guna kepentingan perang. Jepang tidak semassif penjajah sebelumnya yang mampu mengubah sistem dan tatanan sosial bahkan akal sehat penduduk pribumi dapat pula dikebiri. Setelah kekalahan Jepang, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya sebagai bangsa terbebas. Indonesia muncul sebagai negara baru ditengah kemelut persoalan dunia pasca Perang Dunia. Ditunjang Indonesia berada dalam wilayah yang strategis, sehingga sangat disayangkan oleh para penindas jika Indonesia lepas dari belenggunya.

[2]. Proklamasi
Bangsa ini pada tahun 1945 menyatakan kemerdekaannya, berkat perjuangan fisik rakyatnya maupun perjuangan diplomatis beberapa elit politiknya. Namun, apakah betul Indonesia merdeka? ataukah Indonesia hanya mengalami perubahan model penjajahan baru?. Mengingat bangsa Eropa menjajah beratus-ratus tahun, apakah mungkin Indonesia bisa lepas dari pengaruhnya?. Belum lagi ditambah penjajahan Jepang, lengkap sudah model-model penindasan yang dialami bangsa ini. Lalu bagaimanakah kemerdekaan itu?.

Dalam pertemuan antara Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Agus Salim, Tan Malaka datang tanpa undangan dan mengatakan bahwa, “Kepada kalian para sahabat, tahukah kalian kenapa aku tidak tertarik pada kemerdekaan yang kalian ciptakan. Aku merasa bahwa kemerdekaan itu tidak kalian rancang untuk kemaslahatan bersama. Kemerdekaan kalian diatur oleh segelintir manusia, tidak menciptakan revolusi besar. Hari ini aku datang kepadamu, wahai Soekarno sahabatku. Harus aku katakan bahwa kita belum merdeka, karena merdeka haruslah 100 persen.”. Tan Malaka adalah seorang Bapak Republik yang tidak diterima oleh bangsanya sendiri. Namanya dijauhkan dari sejarah perjuangan yang konseptual. Bagi Tan, kemerdekaan yang berhasil dikumandangkan pada 1945 hanyalah kemerdekaan milik kaum elit, bukan milik rakyat. Kemerdekaan kaum elit yang bahagia mendadak karena menjadi borjuis. Kemerdekaan ini hanya dapat dirasakan oleh pemimpinnya saja, sedangkan rakyat harus tetap menghadapi penindasan yang dilakukan oleh wakilnya sendiri. “Esok, adalah hari dimana aku akan menjelma menjadi musuh kalian, karena aku akan tetap berjuang untuk merdeka ‘seratus persen’.” Begitu ungkap Tan Malaka. Jika kita melihat dari sudut Tan Malaka, benar memang bangsa ini tidaklah merdeka, yang merdeka hanyalah sebagian elit politiknya saja, sedangkan rakyatnya tidak.

Sehingga setelah bangsa ini dikatakan merdekapun kita masih menjumpai segala jenis penindasan yang telah berubah modelnya. Baik dari demografi, sumber daya alam, ideologi, politik, sosial budaya, edukasi, bahkan ekonomi. Dinamika perpolitikan hanyalah ‘drama’, tak pernah menyelesaikan persoalan ketertindasan. Sukarno digulingkan dan digantikan Soeharto hanyalah tontonan ‘drama non-kolosal’ yang tak pernah menyelesaikan permasalahan. Justru malah lebih parah, kita menghadapi penjajahan New Imperialism yang dilakukan oleh elit penguasa global. Kita dihadapkan dengan oligarki politik oleh beberapa politisi Orde Baru yang memperkaya diri dan keluarganya dengan cara menindas dan menabung beban bagi rakyat. Atas nama pembangunan, dewa-dewa kemakmuran dikangkangi dan di cor dengan semen-semen palsu. Gedug-gedung sekolah dibangun namun semakin jauh dari makna pendidikan, lumbung-lumbung padi dibangun tapi malah semakin dekat dengan kelaparan, Pabrik-pabrik dibangun namun jauh dari kemajuan. Pembangunan, adalah kedok pemerintah Orde Baru (baca : rezim penindas) untuk hutang ke luar negeri dan menjajakan diri kepada investor, yang hasilnya dikorupsi dan dibagi-bagi kepada sanak family. Rakyat hanya diberikan ampasnya yang tak seberapa, namun dibebani hutang dan masa depan yang penuh dengan kemalangan.

Sebagian besar anak-anak hidup namun jauh dari pendidikan, sedangkan mereka yang dekat dengan pendidikan hanya mengejar prospek dan cita-cita menjadi pejabat dan ‘negarawan’. Inilah penjajahan yang lebih biadab, anak bangsa menyikut nasib anak yang lainnya. Jelas-jelas ini warisan pendidikan masa kolonial, warisan otak-otak penindas. Tenaga pendidik yang sama sekali tak pernah membahas tentang pembebasan, namun hanya berkutat dalam keinginan memutar keadaan. Rakyat disubsidi untuk mengecohnya dari persoalan yang sebenarnya, hutang dan tipu-tipu. Penindasan lain yang tak kalah mengerikan adalah penindasan kemanusiaan. Setiap orang yang melayangkan kritik pasti dibungkam bahkan dihilangkan nyawanya, nyawa tak pernah berarti jika diadu dengan roda kekuasaan dan perpolitikan. Kita dapat menyaksikan hilangnya beberapa aktivis yang melakukan perlawanan terhadap rezim penindas, bahkan sampai peristiwa penembakan yang sampai menghilangkan nyawa seseorang beratasnamakan negara dan stabilitas. Kemerdekaan Indonesia hanya mampu membebaskan penindasan fisik yang dilakukan oleh bangsa eropa, namun tak mampu membebaskan penindasan sistem oleh bangsa adikuasa yang dititipkan pada elit politik kita. Politisi-politisi dan pejabat-pejabat hanya ‘meneruskan mandat’ dari penjajah imperial. W.S Rendra dalam puisinya yang berjudul Maskumambang mengatakan “Bangsa kita kini seperti dadu, terperangkap di dalam kaleng hutang yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa tanpa kita bisa melawannya.”.

[3]. Reformasi
Soeharto berhasil ditumbangkan, digantikan Orde Reformasi dimana amandemen-amandemen dipercaya dapat mengubah nasib bangsa. Perubahan sistem perpolitikan hingga perubahan undang-undang digulirkan namun tetap sama-sama bernada penjajahan. Kita melihat bahwa memang penjajahan fisik sudah nyaris tidak ada, namun berganti ke penjajahan sistem. Kita dijajah dengan hutang peninggalan Orde sebelumnya, yang mana dengan mengatasnamakan pembangunan bisa seenaknya membebani rakyatnya segudang derita. Hutang tersebut menjerat dan mencekik generasi selanjutnya sehingga bangsa ini tak mampu bernafas sebagaimana mestinya. Benar kata Rendra bahwa bangsa ini terperangkap seperti dadu dalam kaleng hutang yang dikocok-kocok tanpa bisa melawan. Itulah, yang mana kita lihat sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia [tak pernah] bisa lepas dari penjajahan. Kita saja tak bisa lepas dari penjajahan wakil kita sendiri, bagaimana mungkin bisa lepas dari penjajahan penguasa global?. Bangsa ini dijerat oleh kebijakan-kebijakan pebisnis dan pemilik modal skala global yang bajingan. Sebagaimana yang dibahas oleh John Pilger dalam film dokumenternya yang sudah sangat familiar “The New Rulers of The World”, bahwa penjahan baru itu bernama globalisasi. John Pilger mempertanyakan arti globalisasi, “... ataukah ini (globalisasi) semata-mata adalah cara lama yang dulunya dilakukan pada jaman raja-raja dan sekarang diteruskan oleh perusahaan-perusahaan multinasional dengan berbagai lembaga keuangan dan pemerintah sebagai penopangnya.”.

Kenyataannya bahwa memang kita belum pernah bisa merdeka, kita hanya mengalami fase-fase penjajahan yang berbeda pelaku dan metodenya. Dalam liputan spesial itu dibahas tentang penjajahan gaya baru ‘globalisasi’ di Indonesia, khususnya setelah tumbangnya rezim Sukarno dan digantikan Soeharto, hingga masa setelah reformasi. Dengan dimulai masa rezim Soeharto, hingga kini bangsa ini harus menanggung masa penjajahan dikte IMF dan World Bank, belum lagi utang kepada bangsa lain yang sebagai syaratnya harus mau didikte secara politik, sosial maupun ekonomi. Sangat disayangkan negeri yang begitu kayanya akan sumber daya harus menjadi pengemis dan hidup dalam ketertindasan. Buruh pabrik harus menjadi robot-robot bernyawa untuk mendapat penghidupan yang jauh dari kata layak. Bayaran Ronaldo untuk mengiklankan sepatu branded luar negeri yang pabriknya di Indonesia mampu untuk membeli tenaga seratus buruh rendahan pembuatnya selama setahun penuh. Kenyataan yang sangat tidak masuk akal dan tidak dapat diterima secara manusiawi. Penjajahan biadab yang mengatasnamakan ‘pembangunan’dan kemajuan jaman. Petani-petani hanya mampu memandang makanan di balik etalase restoran multinasional tanpa bisa membelinya. Hasil panennya dimainkan oleh kartel dan monopoli cukong-cukong bermuka ‘sok baik’. Harga beras dibeli secara murah namun jika sudah ditambahkan merek, tajam harganya melebihi tajam arit petaninya, biadab. Anak-anak miskin hanya mampu bersekolah ketika terlelap di malam hari, mimpi yang tak kunjung terealisasi. Adapun jikalau bisa bersekolah, orang tuanya lah yang kelimpungan mencari biaya, beasiswa ‘mandeg’ disikat iuran komite sekolah. Penegakan hukum juga hanya menjadi omong kosong dan bualan penguasa, dengan mudahnya tarik ulur untuk kepentingan politis. Katakanlah seperti kasus hilangnya aktivis ketika masa reformasi, setiap hendak pergantian kekuasaan pasti menjadi janji, namun hanya menjadi bualan dan tak pernah serius dibuktikan. Begitu pula dengan penuntasan kasus pelanggaran HAM 1965 dimana ratusan ribu nyawa dihilangkan atas nama pembersihan dan stabilitas nasional. Penyelesaian kasusnya seperti selalu tersendat-sendat tak pernah lancar dan sebentar muncul sebentar tenggelam.

Kenyataannya sekali lagi kita tegaskan, bahwa Indonesia [tak pernah] bisa lepas dari penjajahan, sebab dari awal mulanya saja memang sudah dirancang untuk tidak merdeka. Kita banyak mengadopsi sitem kolonial, yang mana sampai sekarang masih dipercaya relevan untuk mengatur negara. Kita dicetak menjadi peradaban yang berpikiran dangkal, dididik dalam suasana dan sistem warisan kolonial. Sehingga kita semakin dijauhkan dari makna pembebasan, kita hanya disibukkan dalam konsep penindas-tertindas.

Namun, masih ada harapan sekecil apapun itu. Kita masih memiliki potensi untuk melepaskan diri dari penindasan, hanya saja kita mau atau tidak. Dalam mencapai kemerdekaan yang sebenarnya, kita perlu mengawalinya dengan melakukan revolusi dari dalam diri kita sendiri. Dengan revolusi kecil itu, yakinlah kita akan semakin disatukan dengan orang-orang lain yang juga melakukannya. Sehingga suatu saat jebollah sistem penindasan yang menjerat kita selama ini karena People Power. Perlawanan dibutuhkan untuk mengikis habis ketertindasan.
Panjang umur perlawanan!

Sumber gambar :


 
Big Thanks To Readers!

Written by : Vrandes Setiawan Cantona

 

No comments:

Post a Comment

Designed By Langit Tjerah