Langit Tjerah menerima donasi buku bekas, buku baru, maupun alat pendidikan yang lainnya untuk kami salurkan kepada Komunitas Pendidikan maupun Taman Baca yang membutuhkan, silahkan hubungi contact person. Terima Kasih.

Thursday, July 20, 2017

Bisnis Terorisme, Upaya Menghancurkan Sebuah Bangsa Secara Halus


[1]. Teroris
Bukan sebuah hal yang aneh bila kita mendengar kata ‘terorisme’, hampir kita dengar setiap harinya. Apabila mendengar kata terorisme mungkin otak kita akan langsung berpikir tentang pembunuhan, sadisme, perang, kekacauan, dan mungkin beberapa akan berpikir tentang radikalisme agama. Itu semua dapat dibenarkan, sebab memang tujuan dari terorisme adalah menciptakan ‘teror’’. Teror biasanya dilakukan untuk menjadikan suasana panik dan ketidakpercayaan. Membicarakan tentang terorisme adalah merupakan pembahasan subyektif, tergantung berada di pihak yang mana kita. Bisa di pihak yang netral, pihak pemerintah, dan pihak oposisi. Dalam bahasan kali ini, kita akan menempatkan diri di pihak yang netral dan dengan menggunakan kacamata kemanusiaan. Sebab aksi teroris sudah jelas merupakan aksi kriminal dan sebuah kejahatan, artinya tidak bisa dibenarkan dari sisi kemanusiaan walaupun dikuatkan dengan alasan agama, bangsa, hukum maupun alasan yang lain. Pembunuhan adalah sebuah kejahatan, sekalipun membunuh seorang pembunuh. Seperti perkataan John Lennon, “I don’t believe in killing, Whatever the reason!”.

[2]. John Lennon
Kita akan membahas aksi teror dan permainan busuk pemilik kepentingan politik yang akhir-akhir ini terjadi, contohnya yang melanda di kawasan Timur Tengah. Konflik di Timur Tengah menghangat ketika Arab Spring, yaitu gelombang demonstrasi hingga penggulingan rezim yang dimulai tahun 2010/2011. Diketahui juga AS memainkan perannya di Timur tengah dengan alasan Demokratisasi, Menghentikan proyek WMD (Weapon of Mass Destruction), dan ‘anti-terorisme’. Dalam hal ini AS mendukung upaya pemberontakan dan mendikte kebijakan setelah rezim tumbang. Sebetulnya jauh sebelum itu, pada 2003 Bush menyatakan problema Timur Tengah yang memungkinkan mengancam stabilitas AS. Pernyataan Bush tersebut menjadi alat justifikasi AS untuk mulai memainkan peran di dunia Timur Tengah. Chomsky pernah mengatakan bahwa AS sebetulnya tidak menginginkan Timur Tengah mendapatkan demokrasi (dalam arti sesungguhnya), sesungguhnya AS hanya menjatuhkan kediktatoran yang tidak sejalan dengan kepentingannya.

[3]. Noam Chomsky, "Orang AS yang paling anti AS"
Perang melawan terorisme dibuka dan menjadi terang-terangan usai tragedi 9/11 yang sangat konspiratif itu. Dengan dimulainya perang terhadap terorisme, AS semakin bebas melakukan intervensi terhadap suatu negara dengan dalih ‘memerangi teroris’. Diperparah dengan merangkul NATO maupun Sekutu Non-NATO. Tapi apakah betul jika AS dan Sekutunya benar-benar memerangi teroris? Ataukah AS dan Sekutunya hanya memainkan peran kotor untuk tujuan menguasai sumber daya alam maupun manusianya?. Jangan-jangan AS dan Sekutunya juga diam-diam mendanai teroris untuk bisnis yang biadab ini. Sebagai bahasan, kita akan mengangkat konflik di Suriah pada pemerintahan Assad. Konflik ini dimulai sekitar tahun 2011, berupa upaya penggulingan Assad dengan memanfaatkan isu sekterian dan menggorengnya hingga matang menjadi konflik yang luar biasa. Sebetulnya erat kaitannya dengan pembangunan Pipa Migas Suriah, kita melihat upaya penggulingan Assad adalah sebuah upaya untuk memperebutkan jalur pipa migas tersebut. Iran dan Qatar adalah sumber cadangan Gas alam yang besar, Ironisnya Iran mengalami embargo dunia internasional dan AS melirik Qatar (sebelum Qatar dikucilkan dari dunia Timur Tengah) sebagai Sekutu yang lumayan kuat di Dunia Timur Tengah. Jika dimenangkan oleh Qatar, maka akan mendapatkan banyak keuntungan seperti menghemat operasional dan memberikan peluang untuk Qatar dan Turki (Sekutu AS) mendominasi pasar. Assad menolak menandatangani perjanjian itu sehingga memancing amarah negara Sekutu AS di kawasan. Segera setelah AS mendengar kabar itu, dimulailah skenario penggulingan Assad dengan memanfaatkan ‘Terorisme’. Menurut Wikileaks, AS (CIA) mulai mendanai beberapa kelompok teroris di Suriah untuk menggulingkan Assad. Pada tahun 2012 ada laporan mengenai kekuatan utama dalam menciptakan konflik di Suriah, AS dan Koalisi di Timur tengah mendukung milisi seperti Ikhwanul Muslimin dan ISIS. Seiring perkembangan kasus, AS juga mendukung penuh upaya Arab Saudi (Sekutu mesranya) untuk menyebarluaskan doktrin terorisme yang memungkinkan untuk mendapatkan bala bantuan secara sukarela dari pengikutnya. Dengan memberikan dukungan kepada beberapa media dakwah seperti Channel TV, Radio, Jejaring Sosial, hingga melatih dan meciptakan da’i-da’i yang berpaham teroris. Doktrin tersebut menyebar ke seluruh negara-negara di dunia, sehingga dalam sepak terjangnya ISIS maupun kelompok jihadis lain beranggotakan warga negara lain yang memang secara sukarela menjadi bagian dari kelompok tersebut. Dalam hal ini Saudi sebagai sekutu sejati AS memegang proyek ini secara masif dan nyaris tidak kelihatan. Menurut Chomsky, Diantara negara Islam, Arab Saudi jauh memimpin sebagai teror Islam. Bukan hanya lewat pendanaan langsung oleh orang kaya di Saudi dan kawasan teluk, melainkan juga melalui semangat misionaris. Semangat ini menyebarluaskan ajaran ekstrem versi Islam Wahabi-Salafi melalui pendidikan Al-Qur’an, ulama, dan sarana lain. Tujuannya untuk menegakkan kediktatoran berbasis agama dengan kekayaan minyak yang melimpah. ISIS adalah cabang kelompok ekstrimis Saudi dan kini mengobarkan api jihad [1]. Kita tidak meragukan analisis dari Chomsky, melihat bahwa memang Saudi sedang gencar-gencarnya melawan Suriah yang berkomplot dengan Iran. Dan memang tidak diragukan lagi bahwa penyebaran doktrin tersebut sudah ke berbagai belahan dunia. Dengan doktrinasi tersebut, kelompok jihadis akan mendapatan batuan secara gratis baik persenjataan, makanan, uang, maupun tenaga. Hal yang tak kalah bahayanya adalah seakan-akan Saudi sedang membuat ‘sel-sel aktif’ di negara lain, sehingga sewaktu-waktu sel hidup tersebut menjadi teroris di negerinya, hanya tinggal waktu aktivasinya.

[4]. Koalisi AS-Saudi-Israel
Sejurus waktu, jihadis-jihadis di Suriah mulai terlihat belangnya dan mulai terpojok. Sehingga mau tidak mau mereka harus kembali ke negara asalnya. Koalisi di kawasan teluk pun mulai merenggang setelah menghadapi kekalahan demi kekalahan tersebut. Dalam hal ini, bagi AS si negeri pecinta demokrasi itu (katanya), tidak melihat lagi mana yang demokratis mana yang ekstrimis. Bagi AS persetan dengan mana yang yang demokratis mana yang ekstrimis, keduanya adalah kawan selama mereka menguntungkan. Inilah standar ganda si Paman Sam keparat, selama menghasilkan mereka adalah rekan, kalau sudah tidak menghasilkan mereka bisa didepak kapan saja. Dan kita melihat itu dalam persoalan terorisme ini.

Terorisme menjadi bisnis yang sangat menguntungkan, bila kita melihat sepak terjang ISIS di Timur Tengah. Mereka merampok kilang minyak, menjarah bangunan bersejarah, merampok dan menjualnya. Putin pernah menuduh Turki yang disinyalir membeli minyak secara ilegal dan murah, dengan menyodorkan beberapa data terkait ‘belang’ tersebut. Soal kebenaran siapa pembelinya, yang pasti teroris-teroris itu pasti memberikan keuntungan bagi ‘majikan’ mereka, sebagai timbal balik atas perlakuan majikannya. Tetapi, persoalan baru muncul ketika Suriah mulai membersihkan diri dari anjing-anjing gila itu. Jihadis-jihadis mulai menyebar beberapa ada yang kembali ke negara asalnya, ada yang pindah markas, bahkan ada yang mencari ladang baru.

[5]. Indonesian ISIS Lovers
Hal ini yang menjadi permasalahan baru, contohnya saja di Indonesia. Bertahun-tahun ideologi ekstrim dari Saudi disebarkan di negeri ini, hingga seiring waktu bertambah banyak pengikutnya bahkan mulai menjadi tren di kalangan muda. Mereka adalah Bom Aktif yang tinggal menunggu si majikan tekan detonatornya. Semakin mendekat, kelompok teroris sudah siap menggorok Indonesia. Di seberang sana Teroris sudah menunggu di Marawi, Filipina. Sebetulnya kita terlalu kanak-kanak jika terlalu takut dalam segi pertahanan fisik, masih ada pendekar Rawa Rontek, Silat Harimau, Tentara, Polisi maupun pendekar-pendekar lainnya untuk beradu otot dengan Teroris. Jauh lebih berbahaya dari itu, yang perlu dipikirkan adalah teroris-teroris yang belum di aktivasi yang sekarang ini mungkin ada di samping kita, duduk di sebelah kita. Mereka belum membawa senjata sekarang, mereka masih berkata,”Kami cinta damai, kami tidak merusak.” Namun semua itu hanya menunggu waktu saja. Kedepan, mereka akan menjadi mesin pembunuh yang mahir dalam memenggal kepala orang yang tidak sepaham dengannya, tinggal kapan waktu aktivasinya. Dalam waktu dekat bila kita lengah, mungkin beberapa sumber daya alam bahkan sumber daya manusia kita direbut dengan cara barbar dan dijual secara murahan kepada majikan si teroris tersebut. Sungguh terorisme adalah bisnis yang sangat menjanjikan. Kita pernah menyaksikan dalam sebuah video yang menayangkan Obama keceplosan dalam pidatonya bahwa AS melatih teroris. “Kami meningkatkan pelatihan pasukan ISIL (nama lain ISIS), termasuk relawan dari suku Sunni di Provinsi Anbar.” [2]

[6]. USAID Mensponsori Teroris
Lalu bagaimanakah cara AS menjadi penyokong terorisme?. Buku-buku pendidikan ‘jihad’ itu ternyata dibuat di AS. Washington Post, 23 Maret 2002 menulis antara lain bahwa USAID menghabiskan 51 juta dollar untuk membiayai ‘program pendidikan di Afganistan 1984-1994’ yang dilakukan oleh Universitas Nebraska [3]. Mungkin jangka waktunya lumayan lama dengan Arab Spring maupun kekacauan di Suriah. Tetapi bila kita melihat polanya, sangat mungkin bahwa AS masih melakukan kegiatan yang serupa untuk terus mempertahankan bisnis terorismenya. Memang kalau kita lihat AS sangat lihai memainkan peran, bahkan sangat rapi hingga nyaris tak dapat dibaca. Katakanlah ketika konflik Iran-Irak, begitu mudah AS menjatuhkan dukungan kepada Saddam. Namun begitu Saddam mungkin sudah tidak ‘produktif’ maka dengan mudahnya disingkirkan dan diganti skenario yang baru yaitu bisnis terorisme. Prior to the American invassion, there was no Al-Qaeda in Saddam Hussein’s Iraq. Pressident George W. Bush destroyed Saddam’s secularist goverment, and his viceroy, Paul Bremer, in a monumental act of missmanagement, effectively created the Sunni Army, now named the Islamic State[4]. Begitulah sedikit penjelasan dari Robbert F. Kennedy Jr. tentang terciptanya ISIS setelah AS mengakali Saddam dan menjadikannya bubble gum yang “habis manis sepah dibuang”.

[7]. Bisnis Terorisme
Bagaimanapun, sepanjang perjalanan teror Islam, tidak ada yang dapat dibandingkan dengan perang Amerika Serikat melawan teror. Perang ini telah membantu penyebaran wabah dari daerah terpencil di perbatasan Afganistan-Pakistan ke wilayah luas di Afrika Barat hingga Asia Tenggara[5]. Hanya untuk bisnis yang biadab dan kotor, yaitu terorisme. Pada akhirnya, kita tidak heran dengan persoalan terorisme jika kita tahu siapa dalang dibalik bisnis yang menjijikan tersebut. Kita jangan terlalu disibukkan dengan aksi-aksi teror di jalanan, mulai tingkatkan fokus kita tentang siapa yang ada dibelakangnya. Sebab, untuk menghentikan pertunjukan wayang kita hanya perlu menghentikan dalangnya, tak perlu membombardir penabuh gamelan, sinden, maupun lampu ‘blecong’ diatas kepala dalang yang nyalanya memang selalu remang-remang.

[8]. John Lennon and Yoko Ono, "War Is Over"

Sumber :

[1] Noam Chomsky, Who Rules The World, terj. Eka Saputra, (Yogyakarta : Bentang, 2017), hal. 558.

[2] Denny Armandanu, CNN Indonesia, “Obama Terpeleset Lidah, Bilang AS Melatih ISIS”, https://m.cnnindonesia.com/internasional/20150709091554-134-65353/obama-terpeleset-lidah-bilang-as-melatih-isis/

[3]  Kajian Timur Tengah, “Bagaimana Cara AS Mendirikan AL Qaida/ISIS?”, https://dinasulaeman.wordpress.com/2015/11/19/bagaimana-cara-as-mendirikan-al-qaedaisis/

[4] Robbert F. Kennedy, JR., “Why The Arabs Don’t Want Us In Syria”, https://www.politico.eu/article/why-the-arabs-dont-want-us-in-syria-mideast-conflict-oil-intervention/

[5] Noam Chomsky, loc. cit.

Sumber Gambar :











Written By : Vrandes. S. Cantona – Langit Tjerah

Big Thanks to Readers!

No comments:

Post a Comment

Designed By Langit Tjerah