Langit Tjerah menerima donasi buku bekas, buku baru, maupun alat pendidikan yang lainnya untuk kami salurkan kepada Komunitas Pendidikan maupun Taman Baca yang membutuhkan, silahkan hubungi contact person. Terima Kasih.

Saturday, July 29, 2017

Pendidikan, Tahap Manusia Dalam Pembebasan

[1]. Pendidikan
“Nak, Sekolahlah kau ikuti gurumu, belajarlah untuk memperoleh hidup yang lebih layak daripada orang tuamu.”, ujar seorang ayah kepada anaknya yang masih belajar menghafal nama-nama hewan dalam bahasa Inggris. Tak terkecuali kita juga pasti sering mendengarkan ceramah yang membosankan tersebut dari mulut orang tua kita yang penuh kasih sayang. Pendidikan, mengapa dalam tulisan ini disebutkan sebagai tahap manusia dalam mencari kebebasan. Karena kita memahami pendidikan sebagai upaya pembebasan, dari kondisi awal kehidupan kita. Tulisan ini sebagai kritik terhadap pemahaman orang awam terhadap pendidikan, yang mana pada hakikatnya pendidikan sebagai upaya pembebasan daripada ketertindasan namun tak jarang pada prakteknya memang membebaskan dari ketertindasan tapi justru menciptakan penindasan baru. Padahal menurut pandangan pribadi penulis, Pendidikan adalah sebuah upaya memahami dirinya sendiri dan seluruh bentuk kehidupan yang menunjang keberlangsungan hidupnya. Dalam memahami dirinya sendiri, tersirat makna pembebasan. Bahwa sejatinya setiap sisi kehidupan duniawi seorang manusia adalah sebuah penjara, yang mana manusia tersebut dapat lepas dari penjaranya jika berhasil memahami dirinya sendiri, penjaranya, dan upaya keluar dari penjaranya, sehingga mampu melepaskan diri dari kungkungannya. Dalam hal ini, pendidikan menjadi peran penting sebagai upaya memahami dan kemudian melepaskan diri seorang manusia tersebut.

Nilai pendidikan tersebut kemudian disubtitusikan ke sebuah sarana, sehingga memunculkan berbagai sarana untuk memperoleh pendidikan berupa sekolah, madrasah, kursus, dan lainnya. Tujuannya adalah sebagai sarana yang membantu mengembangkan kemampuan seorang manusia untuk memahami dirinya dan seluruh kehidupan, sehingga manusia tersebut dapat terbebas. Namun, seiring perkembangan kasus justru nilai pendidikan sebagai pembebasan dari ketertindasan justru memunculkan penindasan gaya baru. Memang, pendidikan yang diadakan dalam sarana-sarana itu membebaskan manusia dari penindasan, tapi justru sering sekali menjadikan manusia yang telah bebas dari penindasan tersebut malah menjadi penindas yang baru. Katakanlah seorang petugas cleaning service yang ditindas oleh mandornya, masuk ke universitas dan mengikuti segala apa yang disajikan dalam kelasnya. Ternyata, mandornya dulu juga belajar di universitas tersebut, dengan gaya pendidikan yang sama. Setelah petugas cleaning service itu lulus dan menjadi mandor, dia menjadi penindas seperti halnya mandornya dulu. Kita memahami pola konsep kejiwaan Penindas-Tertindas, yang mana dalam praktek kesehariannya proses penindasan itu berpola ‘balas-membalas’ antara Penindas dan yang Tertindas. Ketika Si Penindas lengah, akan ditindas oleh orang yang ditindasnya dulu begitu juga sebaliknya nanti. Konsep Penindas-Tertindas tersebut pernah dibahas secara detail oleh Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan dari Brazil. Contoh kasus tersebut mungkin memang mengada-ada, namun secara kontekstual dapat menggambarkan bagaimana peran pendidikan yang menciptakan penindasan ‘gaya baru’. Padahal idealnya, pendidikan justru membebaskan manusia dari konsep Penindas-Tertindas tersebut, bukan hanya sekedar membalikkan keadaan. Kondisi ini yang menjadi latar belakang seorang ayah memberikan nasehat kepada anaknya seperti ilustrasi di awal. Bahwa seorang ayah tersebut korban penindasan kehidupan, sehingga kepada anaknya dia memberikan nasehat supaya tak seperti kehidupan orang tuanya. Permasalahannya adalah ketika suatu saat nanti anaknya terbebas dari ketertindasan, dia akan benar-benar terbebas dari konsep Penindas-Tertindas atau justru hanya berhasil mengubah keadaan?. Disitulah peranan pendidikan, jika pendidikan yang diberikan adalah konsep pendidikan yang dapat membebaskannya dari konsep Penindas-Tertindas maka bebaslah dia, tapi jika konsep pendidikan yang diberikan adalah konsep pendidikan pemutar keadaan, jadilah dia mesin penindas yang baru bagi kehidupan diluarnya.

[2]. Paulo Freire
Dalam hal ini, sekolah menjadi penanggung jawab atas konsep pendidikan tersebut. Apakah sekolah akan menjadi sarana alat pembebas, atau sarana alat pencetak. Freire menjelaskan perbedaan antara pendidikan ‘gaya bank’ dan pendidikan ‘hadap-masalah’ dalam buku Pedagogy of Oppressed. Pendidikan gaya bank yang dimaksud adalah pendidikan yang menempatkan guru sebagai pengkhotbah, pendongeng, dan pencerita. “Ciri yang sangat menonjol dari pendidikan bercerita ini, karena itu, adalah kemerduan kata-kata, bukan kekuatan pengubahnya. “Empat kali empat sama dengan enam belas, ibu kota Para adalah Belem”. Murid-murid mencatat, menghafal dan mengulangi ungkapan-ungkapan tersebut tanpa memahami apa arti sesungguhnya dari empat kali empat, atau tanpa menyadari makna sesungguhnya dari kata “ibu kota” dalam ungkapan “ibu kota Para adalah Belem”, yakni, apa arti Belem bagi Para dan apa arti Para bagi Brasil.”[1]. Berbeda dengan konsep pendidikan Hadap-Masalah yang menekankan dialog antara guru dan murid. Dalam konsep pendidikan Hadap-Masalah posisi guru bukan semata-mata menjadi pengajar dan murid sebagai yang diajar. Guru dan murid sama-sama berproses dalam pendidikan, guru dan murid sama-sama menjadi subjek dan sama-sama menjadi objek. Guru dan murid bersama-sama membahas persoalan dunia, pengetahuan, situasi, dan masalah dengan refleksi, dialog, dan observasi. Tujuannya adalah membawa perubahan, untuk menjadi pembebas dari segala bentuk ketertindasan. Tentu sangat nampak perbedaan pendidikan gaya bank dan pendidikan hadap-masalah tersebut. Pendidikan gaya bank hanya menciptakan budaya kepatuhan terhadap sistem penindasan yang tak berdasar. “Kemampuan pendidikan gaya bank untuk mengurangi atau menghapuskan daya kreasi para murid, serta menumbuhkan sikap mudah percaya, menguntungkan kepentingan kaum penindas yang tidak berkepentingan dengan dunia yang terkuak atau yang berubah.”[2].

[3]. Pendidikan Hadap-Masalah
Dengan mengetahui perbedaan konsep pendidikan gaya bank dan konsep pendidikan hadap-masalah, kita dapat mengetahui pula akar masalah pendidikan di Indonesia yang setiap tahunnya tidak terlihat perubahan ke arah yang lebih baik secara signifikan. Kita hanya dihadapkan pada pendidikan yang berisi pembodohan, yang menciptakan kesuksesan semu yang dibaliknya bermakna penindasan. Sehingga kita dapat melihat bahwa naifnya pendidikan di Indonesia kental sekali dengan konsep pendidikan gaya bank yang dimaksud. Sejak dari SD kita dikenalkan dengan ìlmu bahasa namun tak pernah mengerti apa itu bahasa dan apa fungsinya bahasa dalam kehidupan. Ditambah lagi sistem pendidikan Indonesia yang sangat menekankan muridnya untuk berorientasi pada nilai angka kriteria keberhasilan. Dengan sistem tersebut maka tidak heran jika murid yang tak mampu mengejar nilai angka akan menjadikan contek-mencontek sebagai solusinya. Jangan salahkan murid jika contek-mencontek menjadi ‘pelengkap’dalam kegiatan pendidikan di sekolah walau tak bisa dibenarkan juga, sebab kenyataannya ada yang salah dengan sistem pendidikan kita. Ditunjang dengan adanya guru yang anti-kritik, yang menganggap kritik sebagai bentuk pembangkangan seorang murid. Kritik adalah refleksi bagi guru sebagai pelayan, sehingga kritik harus dijadikan pembelajaran bagi guru. Ironisnya, kebanyakan guru di Indonesia masih anti terhadap kritik sehingga guru tersebut hanya menjadi pengajar, tak mau belajar. Kita menyadari bahwa budaya pendidikan kita yang bobrok telah ditularkan dari jaman antah-berantah hingga masa kini. Seorang calon guru, dididik di Universitas tempat ia belajar dengan konsep pendidikan gaya bank. Nanti, setelah ia lulus dan menjadi guru, ia lanjutkan pendidikan gaya bank yang telah diterimanya sewaktu di Universitasnya. Walhasil, murid-murid yang diampunya ikut mengikuti sistem pembodohan tersebut. Apalagi, jika kita dihadapkan juga bahwa orientasi pendidikan kita hanya menciptakan lulusan yang mengejar kemapanan, tak heran menjadi Pegawai Negeri, Tentara, Polisi, Guru, karyawan dan lainnya hanya untuk sekedar mengejar karir. Dunia Universitas dipenuhi dengan kepala-kepala orang yang bermuatan pandangan hidup nyaman dan penuh puja-puji berhala masa depan.

Inilah realita yang kita hadapi dalam sistem pendidikan di Indonesia, pendidikan yang tak mampu membebaskan manusia dari konsep Penindas-Tertindas, namun hanya mampu membalikan keadaan ketertindasan. Sehingga nasehat seorang ayah kepada anaknya tentang pendidikan selalu bernada membosankan, isinya melulu tentang hidup yang lebih enak, hidup yang lebih nyaman, bahkan lebih ekstrim lagi hidup yang berfinansial melimpah. Sekolah dijadikan modal untuk pemulus karir dan sebagai ritus pemujaan berhala masa depan. Sehingga, tidak jarang ditemukan kasus tentang stigma “Kalau tak sekolah, masa depanmu suram, kau tak berilmu.” Tapi apakah demikian? Bagi orang yang betul-betul memahami tentang makna pendidikan, mereka menyadari bahwa pendidikan tak pernah membutuhkan sekolah, sekolahlah yang membutuhkan pendidikan. Apalagi perguruan tinggi, budaya pembodohan juga telah lama menjangkiti perguruan tinggi. “Perguruan tinggi adalah hal konyol. Perguruan tinggi itu seperti rumah-rumah lawas, kecuali fakta bahwa lebih banyak orang yang mati di perguruan tinggi daripada di rumah-rumah tua mereka, maka benar-benar tidak ada bedanya.”[3].

Dengan sistem pendidikan yang masih belum berubah ini, hal yang kita khawatirkan sudah benar-benar terjadi. Yaitu, sekolah rawan bisnis komersial, pendidikan ditentukan dengan jalur mana ia masuk sehingga menentukan jalur mana ia keluar. Tentu dengan uang yang dicampur dengan kesungguh-sungguhan semu. Bukan dengan idealisme akan pembebasan, dan proses bagaimana lepas dari keterikatan konsep Penindas-Tertindas. Tak heran jika Bob Dylan menuliskan “Sepertinya sekolah benar-benar tidak terlalu banyak memberikan pelajaran”. Pendidikan di Indonesia sudah terjangkiti penyakit parah mulai dari sistem hingga pelakunya, entah guru, penyedia layanan, bahkan muridnya. Dari sistemnya, kita jelas masih berkutat dalam sistem gaya bank. Sistem pendidikan yang seperti ini mirip pelatih hewan yang sedang mengajari seekor monyet untuk menari dan menghibur penonton sirkus. Pendidikan yang mampu membebaskan tak bisa seperti itu, pendidikan manusia ya yang harus mengartikan pelakunya sebagai manusia. “Pertanyaan klasik adalah: “Bagaimana pendidikan seharusnya dijalankan?”  Jika Jean Jacques Rousseau mengatakan bahwa panggilan pendidikan tertinggi adalah menjadikan manusia sebagai manusia, maka pendidikan seharusnya dijalankan dengan memanusiakan manusia.  Tidaklah benar jika pendidikan dikerjakan dengan mendidik manusia menurut cara orang mendidik binatang.”[4]. Pendidikan yang telah terkontaminasi bisnis komersial akan melahirkan budaya komersialisme. Lulusan sekolah akan selau disibukkan dengan bagaimana cara mendapatkan kehidupan dari segi finansial. Padahal, pendidikan tak bermakna sesempit itu. “Bahwa menurut Dewey, tujuan pendidikan bukanlah menghasilkan barang-barang bagus yang bisa dijual dan menambah kas negara, melainkan menghasilkan manusia-manusia bebas (produces free men) yang mampu berhubungan satu sama lain dalam situasi yang setara (equal relation).”[5].

[4]. Pendidikan Non Komersial
Namun, bagaimanapun juga pasti tetap ada beberapa orang tergerak dan menyadari keganjilan-keganjilan sistem walau ia sendiri tak mengetahuinya. Dengan tergeraknya manusia tentang keadaan pendidikan inilah muncul  secercah harapan tentang pelurusan makna pendidikan itu sendiri. Tentunya dengan lahirnya kritik-kritik dan aksi lain yang bertujuan meluruskan makna pendidikan dan mengaplikasikan nilai-nilai pendidikan yang bermakna pembebasan tersebut. Walaupun tidak harus melalui meja sekolahan, sebab masih banyak juga orang yang tak pernah merasakan nyamannya meja sekolahan. Disinilah harapan itu muncul, justru gerakan pemulihan ini dimulai dari orang yang belum pernah tersentuh oleh sistem pembodohan meja sekolahan. Atau dari orang-orang yang pernah merasakan pembodohan terstruktur dari sistem pembodohan yang amburadul, namun segera tersadarkan dan membuat gebrakan yang radikal dan revolusioner. Solusinya, mereka yang peduli tentang pelurusan ini, harus beraksi melalui kursus-kursus gratis kepada orang-orang yang belum atau bahkan sudah tercemar pembodohan terstruktur yang mengatasnamakan pendidikan. Dalam upaya ini, lebih diutamakan pendidikan dua arah atau yang disebut oleh Freire sebagai pendidikan Hadap-Masalah, berupa refleksi, dialog dan observasi. Dengan begitu, maka harapan akan pendidikan sebagai tahap manusia dalam mencari kebebasan dapat terwujud.

[5]. Nelson Mandela - Quotes

Sumber :
[1]. Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Tim Redaksi Asosiasi Pemandu Latihan (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), hal. 52.

[2]. Ibid., hal. 55.

[3]. John Lennon, dkk., Rebel Notes, terj. Adhe Ma’ruf (Yogyakarta: Katalika, 2017), Cet. Pertama, hal. 26.

[4]. Ferry Yang, Kritik Terhadap Pendidikan Indonesia : Pendidikan Manusia, http://www.kompasiana.com/motyang/kritik-terhadap-pendidikan-indonesia-pendidikan-manusia_5869acaff87e61632e984a70

[5]. Reza A.A Watimena, Demokrasi dan Pendidikan Menurut Noam Chomsky, https://rumahfilsafat.com/2012/03/23/demokrasi-dan-pendidikan-menurut-noam-chomsky/


Sumber Gambar :









Written by : Vrandes. S. Cantona - Langit Tjerah

Big Thanks To Readers!

No comments:

Post a Comment

Designed By Langit Tjerah