Indonesia adalah sebuah negara
kepulauan yang membentang di garis Khatulistiwa. Negeri kaya yang masih
menghadapi persoalan pelik di segala bidang. Jalan pendidikan yang macet, roda
ekonomi yang tersendat-sendat, hingga potret kemanusiaan yang kelam di masa
lalu. Negeri ini juga memiliki sejarah yang sangat unik, mulai dari pra
penjajahan kolonial hingga pasca kemerdekaan. Di masa kolonial Indonesia
dibodohkan terlalu lama oleh sistem penjajahan negeri Eropa. Sehingga kebodohan
tersebut mengakar dan membudaya, tumbuh subur dalam otak generasi selanjutnya.
Dalam pembahasan kali ini, sedikit banyak akan mengorek luka lama agar kita
tahu siapa yang membuat luka tersebut. Sesuai judulnya kita akan banyak
membahas permasalahan pelanggaran kemanusiaan di negeri yang seharusnya sangat
humanis ini. Potret kelam pelanggaran kemanusiaan di jaman penjajahan sangat
kompleks hingga tak cukup waktu untuk diceritakan semuanya. Mulai dari
penindasan manusia, perkosaan, genosida, hingga perbudakan. Hal tersebut
menghiasi kehidupan sehari-hari di masa penjajahan. Permasalahan perbudakan
menjadi sorotan bila kita membahas era penjajahan. Sebagaimana rakyat yang
hidup pada masa tersebut mengalami kekejaman pemerasan tenaga dan daya cipta
oleh penjajah yang biadab. Rakyat hanya dipaksa untuk bekerja tanpa upah, baik
upah material maupun moral. Ironisnya, justru elit-elit dari golongan pribumi
banyak yang menjadi kaki tangan si penindas Hak Asasi Manusia. Dengan iming-iming
hidup yang enak, elit tersebut dengan senang hati menjilat pantat si penindas.
Hal ini diatasnamakan dengan sebutan ‘koloni’. Hingga masa pergerakan, mulai
nampak titik terang atas nasib rakyat kecil yang sudah mulai jenuh dengan
kehidupan sehari-hari yang penuh dengan kesengsaraan. Sehingga mengantarkan
bangsa ini mendapatkan ‘kemerdekaan’.
![]() |
Ilustrasi |
Setelah masa penjajahan, negeri
ini merdeka dan mulai menentukan nasib sendiri bagaikan gadis remaja yang harus
bertahan di belantara pergaulan skala global. Bukan berarti setelah mencapai
kemerdekaannya bangsa ini terbebas dari pelanggaran kemanusiaan. Justru babak
baru pelanggaran kemanusiaan dilakukan oleh pemerintahan sendiri setelah
berhasil serah terima kekuasaan dari penjajah sebelumnya. Kekerasan dan represi
dilakukan atas nama negara dengan dalih menyelamatkan kestabilan nasional.
Penyiksaan sesama anak bangsa dilegistimasi oleh badan yang bernama “Pemerintah
dan Aparatur Negara”. Setelah merdeka dari penjajah rakyat bukannya terbebas
dari belenggu kejahatan kemanusiaan tetapi justru rakyat berhadapan dengan
penindas yang memiliki warna kulit yang sama. Tentu dengan pakaian, nasib, dan
hoki yang berbeda dengannya.
Pada era awal berdirinya negara
Indonesia, sekelompok orang yang menyebut dirinya sebagai pemerintah sangat
menjunjung tinggi perdamaian dan Hak Asasi Manusia. Segala konsepsi di bentuk
untuk melindungi keberlangsungan nilai kemanusiaan dalam kehidupan negaranya.
Mengatur kehidupan bangsanya supaya hidup dalam harmoni dan menjunjung tinggi
HAM. Walaupun kita sangat mengamati bahwa awal-awal berdirinya negara ini penuh
dengan tarik ulur dan sengketa dengan pihak penjajah yang belum rela tanah
jajahannya merdeka.
Hingga sepuluh tahun setelahnya
tepatnya pada tahun 1959 setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit, rakyat
di negeri ini mulai merasakan pengekangan kebebasan Hak Sipil dan Hak Politik.
Tindakan subversif pemerintah mengatasnamakan menjalankan Demokrasi Terpimpin
untuk kestabilan politik dalam negeri menghadapi kekuatan kedua Blok besar di dunia.
Namun hal tersebut masih dapat diterima jika kita melihat bahwa Indonesia kala
itu diincar oleh kedua kekuatan Blok dunia. Hal ini mendorong pemerintah untuk
melakukan tindakan subversif untuk menghadang kekuatan kedua Blok tersebut dari
unsur dalam negerinya sendiri. Hingga tujuh tahun setelah Dekrit, dan Presiden
Soekarno jatuh karena kudeta yang penuh konspirasi. Kudeta yang diamini oleh AS
yang mendukung Jendral Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan dan mulai
menyuntikkan kebijakan politiknya ke otak Soeharto. Hal ini didokumentasikan
oleh John Pilger dalam film dokumenternya The
New Rules of The World, 2002. Bahkan dalam buku Who Rules The World?dituliskan bahwa “Kemenangan paling penting
dari perang Indhochina terjadi pada 1965. Ketika itu, dengan dukungan AS,
kudeta militer di Indonesia dipimpin oleh Jenderal Soeharto melakukan
kejahatanyang oleh CIA dianggap sebanding dengan yang dilakukan Hitler, Stalin
dan Mao.”[1]. Mengingat bahwa korban kejahatan Soeharto kala itu mencapai
ratusan ribu jiwa.
Setelah berganti kekuasaan dari
Sukarno kepada Soeharto, daftar panjang pelanggaran kemanusiaan masih
membentang panjang, lebih panjang daripada wilayah negeri ini sendiri. Setelah
tragedi kudeta terhadap Sukarno dengan mengkambinghitamkan salah satu partai
yang berbasis massa, Soeharto mulai melakukan fantasi holocaust yang mirip
dengan fasisme Hitler di negeri ini. Dengan dalih membersihkan “orang kiri”,
Soeharto mulai memakai sarung tangan besinya untuk menghilangkan nyawa ratusan
ribu hingga jutaan orang. Hanya karena tuduhan sederhana, yaitu tuduhan sebagai
“orang komunis harus disingkirkan karena mengancam ideologi negara.”. Dengan latar belakang militer, orang
kelahiran Dusun Kemusuk, Yogyakarta ini memimpin negeri ini dengan serangkaian
tindakan represif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Pembantaian massal orang-orang yang di cap komunis tanpa
pengadilan yang jelas menjadi nilai merah pertama orang yang dijuluki “The
Smilling General” ini.
![]() |
Soeharto Pada Masa 1965 |
Waktu berlanjut hingga tahun
1981, awal dimulainya variasi kejahatan kemanusiaan gaya Soeharto yang lain
yaitu Penembakan Misterius. Kejahatan kemanusiaan tersebut berupa hukuman mati
terhadap residivis, preman, bromocorah, dan orang jalanan tanpa melalui
pengadilan yang jelas. Orang-orang dengan mudah dihilangkan nyawanya dengan
alasan bahwa pelaku kriminal harus dihukum dengan cara yang sama saat ia
memperlakukan korbannya, Hal tersebut diakui Soeharto sendiri dalam
otobiografinya Pikiran, Ucapan, dan
Tindakan Saya. Orang yang kelihatan bertato atau bertampang kriminal akan
langsung mati ditempat oleh peluru panas begundal negara yang berseragam dan bersepatu kulit
setinggi betis. Amnesty Internasional mencatat korban dari kebijakan tersebut
kurang lebih 5.000 jiwa.
Masih banyak pelanggaran
kemanusiaan di era Mr. General ini
sebutkanlah Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari, Daerah Operasi
Militer Aceh, Timor Timur (Timor Leste), Penghilangan Paksa Aktivis (23 Aktivis
9 orang kembali, 1 tewas, 13 hilang), Peristiwa Trisakti, Hingga Kerusuhan Mei
1998. Semuanya menggunakan aparatur negara sebagai alat kekerasan dan
pelanggaran kemanusiaan. Belum lagi pelanggaran dari segi hak politik
masyarakat, kebijakan represi, hingga pembatasan hak-hak sipil masyarakat. Jauh
lebih buruk dibandingkan pada masa pemerintahan Orde Lama. Sehingga memunculkan
perlawanan yang berakibat turunnya Si Tangan Besi.
Setelah mundurnya Soeharto,
perjalanan panjang kemanusiaan di Indonesia berehat sejenak dari liku-liku yang
melelahkan. Namun, budaya militerisme terlanjur mengakar pada mantan-mantan
jenderal atau bahkan sebagian ‘cheersleadernya’ pada masa itu. Budaya “praetorian” terlanjur
disuntikan ke otak jenderal-jenderal yang kelak akan menjadi penguasa baru
setelah kemunduran The Big General
dan menjadi penerus kekejaman terhadap nilai kemanusiaan.
Bentuk-bentuk Pelanggaran HAM
pasca Reformasi berangsur berkurang dibandingkan di era Orde Baru. Namun, bukan
berarti di era Reformasi menjadi aman-aman saja, justru pelanggaran gaya baru
mulai tampil dengan muka yang lebih sopan. Ditunjang dengan semakin terjalnya
jurang pemisah antara kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, agamawan dan anak
jalanan. Juga penjajahan Imperium gaya baru yang bernama Globalisasi. Pasca
Reformasi, diterbitkannya PAM Swakarsa menambah panjang liku jalan kemanusiaan
bangsa ini. Dengan gerbang PAM Swakarsa ini melahirkan kelompok-kelompok
perusuh yang bebas melakukan pelanggaran kemanusiaan berdalih menciptakan
stabilitas. Ada apa gerangan? Mungkinkah dengan adanya ormas-ormas rusuh
bercorak represif ini sebagai upaya cuci tangan pelanggaran HAM masa lalu?.
Atau menjadi pelaksana kegiatan represi setelah keruntuhan Orde Baru?. Apalagi
dalam tubuh ormas-ormas rusuh tersebut ada jenderal-jenderal pensiunan masa Orde
Baru.
Sebutkanlah pelanggaran
kemanusiaan terhadap kasus Ahmadiyah, pada masa pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono yang dilakukan oleh ormas-ormas rusuh. Terkesan SBY mendiamkan ormas
rusuh tersebut melakukan kebiadaban, dan cenderung tidak mengeluarkan kebijakan
normatif. Padahal, pada Pemilihan Presiden tahun 2004 dicitrakan bahwa SBY
adalah seorang yang humanis, demokrat dan sangat toleran. Tetapi apakah benar
demikian? Bukankah SBY juga merupakan pion
Soeharto kala itu?. Bukankah “Semua serdadu pasti tak jauh berbeda.” begitu
salah satu lirik lagu Iwan Fals?. Belum lagi pemerintahannyabanyak didukung
oleh jenderal-jenderal alumnus sekolah militer prestisius di AS. Memang salah
satu langkah AS dalam mewujudkan ambisi imperiumnya adalah dengan menempatkan
jenderal-jendral lulusan sekolah militer di AS, seperti Forth Leavenworth dan
Fort Benning. Doktrin militeristik AS sengaja ditanamkan pada siswa-siswanya
untuk menjadi “anjing penjaga” di negara asalnya dengan menjadikannya pemimpin
bangsa dibawah hegemoni AS.
Jejak pelanggaran HAM di era
reformasi juga belum tertuntaskan, terutama sekali penyelesaian konflik
vertikal di Papua dan Aceh. Sebetulnya, masa Habibie, Gus Dur dan Megawati
memiliki komitmen untuk menjadikan pendekatan dan dialog sebagai paradigma
penyelesaian konflik. Namun setiap jalan pasti ada hambatannya, SBY ketika
menjabat sebagai Menkopolkam justru meningkatkan intensitas konflik. Melalui
Keppres No. 28 Tahun 2003 jelas-jelas memberlakukan Darurat Militer [2]. Itu
artinya, bukan solusi penyelesaian konflik melalui pendekatan yang dipilih
melainkan memperburuk konflik dan menambah korban jiwa.
Deretan panjang kasus kemanusiaan
di negeri ini seperti cerita yang tak berujung dan tak pernah ada solusinya.
Setiap pergantian kekuasaan pasti menjanjikan penuntasan pelanggaran HAM masa
lalu, tetapi setelah itu berangsur
ditelan waktu dan berganti kejahatan kemanusiaan yang baru. Apakah artinya
sebuah negara jika hanya menjadi alat kekejaman terhadap segala bentuk
kehidupan. Kehidupan yang seharusnya sangat bernilai menjadi barang murahan
sehingga dengan mudah dikriminalisasi oleh sebuah badan yang mengatasnamakan
sebagai negara. Wajar bila seorang anarkis mengatakan “I don’t believe in
state” ketika melihat negara hanyalah sebagai alat kekejaman dengan
mengatasnamakan kebijakan dan stabilitas nasional. Beribu dalil bahwa negara
diciptakan sebagai sebuah wadah bagi kehidupan manusia, seakan bila tak ada
negara kita adalah hewan-hewan murahan. Tetapi bukankah kenyataannya negara
hanya menjadi arena pertarungan hewan-hewan politik?. Filsuf sosial termasyhur
dari Amerika, John Dewey, pernah menggambarkan politik sebagai “bayangan yang
dirajut di tengah masyarakat oleh kelompok yang sangat berkuasa dan
berpengaruh” [3]. Ujungnya, dunia hanyalah kumpulan bangsa-bangsa yang memiliki
peran penindas untuk seluruh jenis kehidupan. Kumpulan birahi kekuasaan yang
melegalkan penindasan atas nama
kepentingan nasional.
Catatan :
[1] Noam Chomsky, 2017, Who Rules The World, terj. Eka Saputra,
Bentang, Yogyakarta, hal. 111-112.
[2] Keppres No. 28 Tahun
2003 tentang Pemberlakuan Status Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang berlaku efektif mulai 19 Mei 2003.
[3] Westbrook, R. 1991, John Dewey and American Democracy. Ithaca,
NY: Cornell University Press, Hal. 440.
Big Thanks to Readers!
Written by : Vrandes Setiawan Cantona - Langit Tjerah
No comments:
Post a Comment