[1]. Teroris |
Bukan sebuah hal yang aneh bila kita mendengar
kata ‘terorisme’, hampir kita dengar setiap harinya. Apabila mendengar kata
terorisme mungkin otak kita akan langsung berpikir tentang pembunuhan, sadisme,
perang, kekacauan, dan mungkin beberapa akan berpikir tentang radikalisme
agama. Itu semua dapat dibenarkan, sebab memang tujuan dari terorisme adalah
menciptakan ‘teror’’. Teror biasanya dilakukan untuk menjadikan suasana panik
dan ketidakpercayaan. Membicarakan tentang terorisme adalah merupakan
pembahasan subyektif, tergantung berada di pihak yang mana kita. Bisa di pihak
yang netral, pihak pemerintah, dan pihak oposisi. Dalam bahasan kali ini, kita
akan menempatkan diri di pihak yang netral dan
dengan menggunakan kacamata kemanusiaan. Sebab aksi
teroris sudah jelas merupakan aksi kriminal dan sebuah kejahatan, artinya tidak
bisa dibenarkan dari sisi kemanusiaan walaupun dikuatkan dengan alasan agama,
bangsa, hukum maupun alasan yang lain. Pembunuhan adalah sebuah kejahatan,
sekalipun membunuh seorang pembunuh. Seperti perkataan John Lennon, “I don’t
believe in killing, Whatever the reason!”.
[2]. John Lennon |
Kita akan membahas aksi teror dan permainan
busuk pemilik kepentingan politik yang akhir-akhir ini terjadi, contohnya yang
melanda di kawasan Timur Tengah. Konflik di Timur Tengah menghangat ketika Arab
Spring, yaitu gelombang demonstrasi hingga penggulingan rezim yang dimulai
tahun 2010/2011. Diketahui juga AS memainkan perannya di Timur tengah dengan
alasan Demokratisasi, Menghentikan proyek WMD (Weapon of Mass Destruction), dan
‘anti-terorisme’. Dalam hal ini AS mendukung upaya pemberontakan dan mendikte
kebijakan setelah rezim tumbang. Sebetulnya jauh sebelum itu, pada 2003 Bush menyatakan
problema Timur Tengah yang memungkinkan mengancam stabilitas AS. Pernyataan
Bush tersebut menjadi alat justifikasi AS untuk mulai memainkan peran di dunia
Timur Tengah. Chomsky pernah mengatakan bahwa AS sebetulnya tidak menginginkan
Timur Tengah mendapatkan demokrasi (dalam arti sesungguhnya), sesungguhnya AS
hanya menjatuhkan kediktatoran yang tidak sejalan dengan kepentingannya.
[3]. Noam Chomsky, "Orang AS yang paling anti AS" |
Perang melawan terorisme dibuka dan menjadi
terang-terangan usai tragedi 9/11 yang sangat konspiratif itu. Dengan
dimulainya perang terhadap terorisme, AS semakin bebas melakukan intervensi
terhadap suatu negara dengan dalih ‘memerangi teroris’. Diperparah dengan
merangkul NATO maupun Sekutu Non-NATO. Tapi apakah betul jika AS dan Sekutunya
benar-benar memerangi teroris? Ataukah AS dan Sekutunya hanya memainkan peran
kotor untuk tujuan menguasai sumber daya alam maupun manusianya?. Jangan-jangan
AS dan Sekutunya juga diam-diam mendanai teroris untuk bisnis yang biadab ini.
Sebagai bahasan, kita akan mengangkat konflik di Suriah pada pemerintahan
Assad. Konflik ini dimulai sekitar tahun 2011, berupa upaya penggulingan Assad
dengan memanfaatkan isu sekterian dan menggorengnya hingga matang menjadi
konflik yang luar biasa. Sebetulnya erat kaitannya dengan pembangunan Pipa
Migas Suriah, kita melihat upaya penggulingan Assad adalah sebuah upaya untuk
memperebutkan jalur pipa migas tersebut. Iran dan Qatar adalah sumber cadangan
Gas alam yang besar, Ironisnya Iran mengalami embargo dunia internasional dan
AS melirik Qatar (sebelum Qatar dikucilkan dari dunia Timur Tengah) sebagai
Sekutu yang lumayan kuat di Dunia Timur Tengah. Jika dimenangkan oleh Qatar,
maka akan mendapatkan banyak keuntungan seperti menghemat operasional dan
memberikan peluang untuk Qatar dan Turki (Sekutu AS) mendominasi pasar. Assad
menolak menandatangani perjanjian itu sehingga memancing amarah negara Sekutu
AS di kawasan. Segera setelah AS mendengar kabar itu, dimulailah skenario
penggulingan Assad dengan memanfaatkan ‘Terorisme’. Menurut Wikileaks, AS (CIA)
mulai mendanai beberapa kelompok teroris di Suriah untuk menggulingkan Assad.
Pada tahun 2012 ada laporan mengenai kekuatan utama dalam menciptakan konflik
di Suriah, AS dan Koalisi di Timur tengah mendukung milisi seperti Ikhwanul
Muslimin dan ISIS. Seiring perkembangan kasus, AS juga mendukung penuh upaya
Arab Saudi (Sekutu mesranya) untuk menyebarluaskan doktrin terorisme yang
memungkinkan untuk mendapatkan bala bantuan secara sukarela dari pengikutnya.
Dengan memberikan dukungan kepada beberapa media dakwah seperti Channel TV,
Radio, Jejaring Sosial, hingga melatih dan meciptakan da’i-da’i yang berpaham
teroris. Doktrin tersebut menyebar ke seluruh negara-negara di dunia, sehingga
dalam sepak terjangnya ISIS maupun kelompok jihadis lain beranggotakan warga
negara lain yang memang secara sukarela menjadi bagian dari kelompok tersebut.
Dalam hal ini Saudi sebagai sekutu sejati AS memegang proyek ini secara masif
dan nyaris tidak kelihatan. Menurut Chomsky, Diantara negara Islam, Arab Saudi
jauh memimpin sebagai teror Islam. Bukan hanya lewat pendanaan langsung oleh
orang kaya di Saudi dan kawasan teluk, melainkan juga melalui semangat
misionaris. Semangat ini menyebarluaskan ajaran ekstrem versi Islam
Wahabi-Salafi melalui pendidikan Al-Qur’an, ulama, dan sarana lain. Tujuannya untuk
menegakkan kediktatoran berbasis agama dengan kekayaan minyak yang melimpah.
ISIS adalah cabang kelompok ekstrimis Saudi dan kini mengobarkan api jihad [1].
Kita tidak meragukan analisis dari Chomsky, melihat bahwa memang Saudi sedang
gencar-gencarnya melawan Suriah yang berkomplot dengan Iran. Dan memang tidak
diragukan lagi bahwa penyebaran doktrin tersebut sudah ke berbagai belahan
dunia. Dengan doktrinasi tersebut, kelompok jihadis akan mendapatan batuan
secara gratis baik persenjataan, makanan, uang, maupun tenaga. Hal yang tak
kalah bahayanya adalah seakan-akan Saudi sedang membuat ‘sel-sel aktif’ di
negara lain, sehingga sewaktu-waktu sel hidup tersebut menjadi teroris di
negerinya, hanya tinggal waktu aktivasinya.
[4]. Koalisi AS-Saudi-Israel |
Sejurus waktu, jihadis-jihadis di Suriah mulai
terlihat belangnya dan mulai terpojok. Sehingga mau tidak mau mereka harus
kembali ke negara asalnya. Koalisi di kawasan teluk pun mulai merenggang
setelah menghadapi kekalahan demi kekalahan tersebut. Dalam hal ini, bagi AS si
negeri pecinta demokrasi itu (katanya), tidak melihat lagi mana yang demokratis
mana yang ekstrimis. Bagi AS persetan dengan mana yang yang demokratis mana
yang ekstrimis, keduanya adalah kawan selama mereka menguntungkan. Inilah
standar ganda si Paman Sam keparat, selama menghasilkan mereka adalah rekan,
kalau sudah tidak menghasilkan mereka bisa didepak kapan saja. Dan kita melihat
itu dalam persoalan terorisme ini.
Terorisme menjadi bisnis yang sangat
menguntungkan, bila kita melihat sepak terjang ISIS di Timur Tengah. Mereka
merampok kilang minyak, menjarah bangunan bersejarah, merampok dan menjualnya.
Putin pernah menuduh Turki yang disinyalir membeli minyak secara ilegal dan
murah, dengan menyodorkan beberapa data terkait ‘belang’ tersebut. Soal kebenaran siapa pembelinya,
yang pasti teroris-teroris itu pasti memberikan keuntungan bagi ‘majikan’
mereka,
sebagai timbal balik atas perlakuan majikannya. Tetapi, persoalan baru muncul
ketika Suriah mulai membersihkan diri dari anjing-anjing gila itu.
Jihadis-jihadis mulai menyebar beberapa ada yang kembali ke negara asalnya, ada
yang pindah markas, bahkan ada yang mencari ladang baru.
[5]. Indonesian ISIS Lovers |
Hal ini yang menjadi permasalahan baru,
contohnya saja di Indonesia. Bertahun-tahun ideologi ekstrim dari Saudi
disebarkan di negeri ini, hingga seiring waktu bertambah banyak pengikutnya bahkan mulai menjadi tren di kalangan muda. Mereka adalah Bom Aktif yang tinggal menunggu si majikan tekan
detonatornya. Semakin mendekat, kelompok teroris sudah siap menggorok
Indonesia. Di seberang sana Teroris sudah menunggu di Marawi, Filipina.
Sebetulnya kita terlalu kanak-kanak jika terlalu takut dalam segi pertahanan
fisik, masih ada pendekar Rawa Rontek, Silat Harimau, Tentara, Polisi maupun
pendekar-pendekar lainnya untuk
beradu otot dengan Teroris. Jauh lebih berbahaya dari itu,
yang perlu dipikirkan adalah teroris-teroris yang belum di aktivasi yang
sekarang ini mungkin ada di samping kita, duduk di sebelah kita. Mereka belum
membawa senjata sekarang, mereka masih berkata,”Kami cinta damai, kami tidak
merusak.” Namun semua itu hanya menunggu waktu saja. Kedepan, mereka akan
menjadi mesin pembunuh yang mahir dalam memenggal kepala orang yang tidak
sepaham dengannya, tinggal kapan waktu aktivasinya. Dalam waktu dekat bila kita
lengah, mungkin beberapa sumber daya alam bahkan sumber daya manusia kita direbut dengan
cara barbar dan dijual secara murahan kepada majikan si teroris tersebut.
Sungguh terorisme adalah bisnis yang sangat menjanjikan. Kita pernah
menyaksikan dalam sebuah video yang menayangkan Obama keceplosan dalam
pidatonya bahwa AS melatih teroris. “Kami meningkatkan pelatihan pasukan ISIL
(nama lain ISIS), termasuk relawan dari suku Sunni di Provinsi Anbar.” [2]
[6]. USAID Mensponsori Teroris |
Lalu bagaimanakah cara AS menjadi penyokong
terorisme?. Buku-buku pendidikan ‘jihad’ itu ternyata dibuat di AS. Washington
Post, 23 Maret 2002 menulis antara lain bahwa USAID menghabiskan 51 juta dollar
untuk membiayai ‘program pendidikan di Afganistan 1984-1994’ yang dilakukan
oleh Universitas Nebraska [3]. Mungkin jangka waktunya lumayan lama dengan Arab
Spring maupun kekacauan di Suriah. Tetapi bila kita melihat polanya, sangat
mungkin bahwa AS masih melakukan kegiatan yang serupa untuk terus
mempertahankan bisnis terorismenya. Memang kalau kita lihat AS sangat lihai
memainkan peran, bahkan sangat rapi hingga nyaris tak dapat dibaca. Katakanlah
ketika konflik Iran-Irak, begitu mudah AS menjatuhkan dukungan kepada Saddam.
Namun begitu Saddam mungkin sudah tidak ‘produktif’ maka dengan mudahnya
disingkirkan dan diganti skenario yang baru yaitu bisnis terorisme. Prior to
the American invassion, there was no Al-Qaeda in Saddam Hussein’s Iraq.
Pressident George W. Bush destroyed Saddam’s secularist goverment, and his
viceroy, Paul Bremer, in a monumental act of missmanagement, effectively created
the Sunni Army, now named the Islamic State[4]. Begitulah sedikit penjelasan
dari Robbert F. Kennedy Jr. tentang terciptanya ISIS setelah AS mengakali
Saddam dan menjadikannya bubble
gum yang
“habis manis sepah dibuang”.
[7]. Bisnis Terorisme |
Bagaimanapun, sepanjang perjalanan teror Islam,
tidak ada yang dapat dibandingkan dengan perang Amerika Serikat melawan teror.
Perang ini telah membantu penyebaran wabah dari daerah terpencil di perbatasan
Afganistan-Pakistan ke wilayah luas di Afrika Barat hingga Asia Tenggara[5].
Hanya untuk bisnis yang biadab dan kotor, yaitu terorisme. Pada akhirnya, kita
tidak heran dengan persoalan terorisme jika kita tahu siapa dalang dibalik
bisnis yang menjijikan tersebut. Kita jangan terlalu disibukkan dengan
aksi-aksi teror di jalanan, mulai tingkatkan fokus kita tentang siapa yang ada
dibelakangnya. Sebab, untuk menghentikan pertunjukan wayang kita hanya perlu
menghentikan dalangnya, tak perlu membombardir penabuh gamelan, sinden, maupun
lampu ‘blecong’ diatas kepala dalang yang nyalanya memang selalu remang-remang.
[8]. John Lennon and Yoko Ono, "War Is Over" |
Sumber :
[1] Noam Chomsky, Who Rules The World, terj. Eka Saputra, (Yogyakarta : Bentang, 2017), hal. 558.
[2] Denny Armandanu, CNN Indonesia, “Obama
Terpeleset Lidah, Bilang AS Melatih ISIS”, https://m.cnnindonesia.com/internasional/20150709091554-134-65353/obama-terpeleset-lidah-bilang-as-melatih-isis/
[3] Kajian
Timur Tengah, “Bagaimana Cara AS Mendirikan AL Qaida/ISIS?”, https://dinasulaeman.wordpress.com/2015/11/19/bagaimana-cara-as-mendirikan-al-qaedaisis/
[4] Robbert F. Kennedy, JR., “Why The Arabs
Don’t Want Us In Syria”, https://www.politico.eu/article/why-the-arabs-dont-want-us-in-syria-mideast-conflict-oil-intervention/
[5] Noam Chomsky, loc. cit.
Sumber Gambar :
Big Thanks to Readers!
No comments:
Post a Comment