![]() |
[1]. Pendidikan |
“Nak, Sekolahlah kau ikuti
gurumu, belajarlah untuk memperoleh hidup yang lebih layak daripada orang tuamu.”,
ujar seorang ayah kepada anaknya yang masih belajar menghafal nama-nama hewan
dalam bahasa Inggris. Tak terkecuali kita juga pasti sering mendengarkan
ceramah yang membosankan tersebut dari mulut orang tua kita yang penuh kasih
sayang. Pendidikan, mengapa dalam tulisan ini disebutkan sebagai tahap manusia
dalam mencari kebebasan. Karena kita memahami pendidikan sebagai upaya
pembebasan, dari kondisi awal kehidupan kita. Tulisan ini sebagai kritik
terhadap pemahaman orang awam terhadap pendidikan, yang mana pada hakikatnya
pendidikan sebagai upaya pembebasan daripada ketertindasan namun tak jarang
pada prakteknya memang membebaskan dari ketertindasan tapi justru menciptakan
penindasan baru. Padahal menurut pandangan pribadi penulis, Pendidikan adalah
sebuah upaya memahami dirinya sendiri dan seluruh bentuk kehidupan yang
menunjang keberlangsungan hidupnya. Dalam memahami dirinya sendiri, tersirat
makna pembebasan. Bahwa sejatinya setiap sisi kehidupan duniawi seorang manusia
adalah sebuah penjara, yang mana manusia tersebut dapat lepas dari penjaranya
jika berhasil memahami dirinya sendiri, penjaranya, dan upaya keluar dari
penjaranya, sehingga mampu melepaskan diri dari kungkungannya. Dalam hal ini,
pendidikan menjadi peran penting sebagai upaya memahami dan kemudian melepaskan
diri seorang manusia tersebut.
Nilai pendidikan tersebut kemudian
disubtitusikan ke sebuah sarana, sehingga memunculkan berbagai sarana untuk
memperoleh pendidikan berupa sekolah, madrasah, kursus, dan lainnya. Tujuannya
adalah sebagai sarana yang membantu mengembangkan kemampuan seorang manusia
untuk memahami dirinya dan seluruh kehidupan, sehingga manusia tersebut dapat
terbebas. Namun, seiring perkembangan kasus justru nilai pendidikan sebagai
pembebasan dari ketertindasan justru memunculkan penindasan gaya baru. Memang,
pendidikan yang diadakan dalam sarana-sarana itu membebaskan manusia dari
penindasan, tapi justru sering sekali menjadikan manusia yang telah bebas dari
penindasan tersebut malah menjadi penindas yang baru. Katakanlah seorang
petugas cleaning service yang
ditindas oleh mandornya, masuk ke universitas dan mengikuti segala apa yang
disajikan dalam kelasnya. Ternyata, mandornya dulu juga belajar di universitas
tersebut, dengan gaya pendidikan yang sama. Setelah petugas cleaning service itu lulus dan menjadi
mandor, dia menjadi penindas seperti halnya mandornya dulu. Kita memahami pola
konsep kejiwaan Penindas-Tertindas, yang mana dalam praktek kesehariannya
proses penindasan itu berpola ‘balas-membalas’ antara Penindas dan yang
Tertindas. Ketika Si Penindas lengah, akan ditindas oleh orang yang ditindasnya
dulu begitu juga sebaliknya nanti. Konsep Penindas-Tertindas tersebut pernah
dibahas secara detail oleh Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan dari Brazil.
Contoh kasus tersebut mungkin memang mengada-ada, namun secara kontekstual
dapat menggambarkan bagaimana peran pendidikan yang menciptakan penindasan
‘gaya baru’. Padahal idealnya, pendidikan justru membebaskan manusia dari
konsep Penindas-Tertindas tersebut, bukan hanya sekedar membalikkan keadaan.
Kondisi ini yang menjadi latar belakang seorang ayah memberikan nasehat kepada
anaknya seperti ilustrasi di awal. Bahwa seorang ayah tersebut korban
penindasan kehidupan, sehingga kepada anaknya dia memberikan nasehat supaya tak
seperti kehidupan orang tuanya. Permasalahannya adalah ketika suatu saat nanti
anaknya terbebas dari ketertindasan, dia akan benar-benar terbebas dari konsep
Penindas-Tertindas atau justru hanya berhasil mengubah keadaan?. Disitulah
peranan pendidikan, jika pendidikan yang diberikan adalah konsep pendidikan
yang dapat membebaskannya dari konsep Penindas-Tertindas maka bebaslah dia,
tapi jika konsep pendidikan yang diberikan adalah konsep pendidikan pemutar
keadaan, jadilah dia mesin penindas yang baru bagi kehidupan diluarnya.
![]() |
[2]. Paulo Freire |
Dalam hal ini, sekolah menjadi
penanggung jawab atas konsep pendidikan tersebut. Apakah sekolah akan menjadi sarana
alat pembebas, atau sarana alat pencetak. Freire menjelaskan perbedaan antara
pendidikan ‘gaya bank’ dan pendidikan ‘hadap-masalah’ dalam buku Pedagogy of Oppressed. Pendidikan gaya
bank yang dimaksud adalah pendidikan yang menempatkan guru sebagai pengkhotbah,
pendongeng, dan pencerita. “Ciri yang sangat menonjol dari pendidikan bercerita
ini, karena itu, adalah kemerduan kata-kata, bukan kekuatan pengubahnya. “Empat
kali empat sama dengan enam belas, ibu kota Para adalah Belem”. Murid-murid
mencatat, menghafal dan mengulangi ungkapan-ungkapan tersebut tanpa memahami
apa arti sesungguhnya dari empat kali empat, atau tanpa menyadari makna
sesungguhnya dari kata “ibu kota” dalam ungkapan “ibu kota Para adalah Belem”,
yakni, apa arti Belem bagi Para dan apa arti Para bagi Brasil.”[1]. Berbeda
dengan konsep pendidikan Hadap-Masalah yang menekankan dialog antara guru dan
murid. Dalam konsep pendidikan Hadap-Masalah posisi guru bukan semata-mata
menjadi pengajar dan murid sebagai yang diajar. Guru dan murid sama-sama
berproses dalam pendidikan, guru dan murid sama-sama menjadi subjek dan
sama-sama menjadi objek. Guru dan murid bersama-sama membahas persoalan dunia,
pengetahuan, situasi, dan masalah dengan refleksi, dialog, dan observasi.
Tujuannya adalah membawa perubahan, untuk menjadi pembebas dari segala bentuk
ketertindasan. Tentu sangat nampak perbedaan pendidikan gaya bank dan
pendidikan hadap-masalah tersebut. Pendidikan gaya bank hanya menciptakan
budaya kepatuhan terhadap sistem penindasan yang tak berdasar. “Kemampuan pendidikan
gaya bank untuk mengurangi atau menghapuskan daya kreasi para murid, serta
menumbuhkan sikap mudah percaya, menguntungkan kepentingan kaum penindas yang
tidak berkepentingan dengan dunia yang terkuak atau yang berubah.”[2].
![]() |
[3]. Pendidikan Hadap-Masalah |
Dengan mengetahui perbedaan
konsep pendidikan gaya bank dan konsep pendidikan hadap-masalah, kita dapat mengetahui
pula akar masalah pendidikan di Indonesia yang setiap tahunnya tidak terlihat
perubahan ke arah yang lebih baik secara signifikan. Kita hanya dihadapkan pada
pendidikan yang berisi pembodohan, yang menciptakan kesuksesan semu yang
dibaliknya bermakna penindasan. Sehingga kita dapat melihat bahwa naifnya
pendidikan di Indonesia kental sekali dengan konsep pendidikan gaya bank yang
dimaksud. Sejak dari SD kita dikenalkan dengan ìlmu bahasa namun tak pernah
mengerti apa itu bahasa dan apa fungsinya bahasa dalam kehidupan. Ditambah lagi
sistem pendidikan Indonesia yang sangat menekankan muridnya untuk berorientasi
pada nilai angka kriteria keberhasilan. Dengan sistem tersebut maka tidak heran
jika murid yang tak mampu mengejar nilai angka akan menjadikan contek-mencontek
sebagai solusinya. Jangan salahkan murid jika contek-mencontek menjadi ‘pelengkap’dalam
kegiatan pendidikan di sekolah walau tak bisa dibenarkan juga, sebab kenyataannya
ada yang salah dengan sistem pendidikan kita. Ditunjang dengan adanya guru yang
anti-kritik, yang menganggap kritik sebagai bentuk pembangkangan seorang murid.
Kritik adalah refleksi bagi guru sebagai pelayan, sehingga kritik harus
dijadikan pembelajaran bagi guru. Ironisnya, kebanyakan guru di Indonesia masih
anti terhadap kritik sehingga guru tersebut hanya menjadi pengajar, tak mau
belajar. Kita menyadari bahwa budaya pendidikan kita yang bobrok telah
ditularkan dari jaman antah-berantah hingga masa kini. Seorang calon guru,
dididik di Universitas tempat ia belajar dengan konsep pendidikan gaya bank.
Nanti, setelah ia lulus dan menjadi guru, ia lanjutkan pendidikan gaya bank
yang telah diterimanya sewaktu di Universitasnya. Walhasil, murid-murid yang
diampunya ikut mengikuti sistem pembodohan tersebut. Apalagi, jika kita
dihadapkan juga bahwa orientasi pendidikan kita hanya menciptakan lulusan yang
mengejar kemapanan, tak heran menjadi Pegawai Negeri, Tentara, Polisi, Guru,
karyawan dan lainnya hanya untuk sekedar mengejar karir. Dunia Universitas
dipenuhi dengan kepala-kepala orang yang bermuatan pandangan hidup nyaman dan
penuh puja-puji berhala masa depan.
Inilah realita yang kita hadapi
dalam sistem pendidikan di Indonesia, pendidikan yang tak mampu membebaskan manusia
dari konsep Penindas-Tertindas, namun hanya mampu membalikan keadaan
ketertindasan. Sehingga nasehat seorang ayah kepada anaknya tentang pendidikan
selalu bernada membosankan, isinya melulu tentang hidup yang lebih enak, hidup
yang lebih nyaman, bahkan lebih ekstrim lagi hidup yang berfinansial melimpah.
Sekolah dijadikan modal untuk pemulus karir dan sebagai ritus pemujaan berhala
masa depan. Sehingga, tidak jarang ditemukan kasus tentang stigma “Kalau tak
sekolah, masa depanmu suram, kau tak berilmu.” Tapi apakah demikian? Bagi orang
yang betul-betul memahami tentang makna pendidikan, mereka menyadari bahwa
pendidikan tak pernah membutuhkan sekolah, sekolahlah yang membutuhkan pendidikan.
Apalagi perguruan tinggi, budaya pembodohan juga telah lama menjangkiti
perguruan tinggi. “Perguruan tinggi adalah hal konyol. Perguruan tinggi itu
seperti rumah-rumah lawas, kecuali fakta bahwa lebih banyak orang yang mati di
perguruan tinggi daripada di rumah-rumah tua mereka, maka benar-benar tidak ada
bedanya.”[3].
Dengan sistem pendidikan yang
masih belum berubah ini, hal yang kita khawatirkan sudah benar-benar terjadi.
Yaitu, sekolah rawan bisnis komersial, pendidikan ditentukan dengan jalur mana
ia masuk sehingga menentukan jalur mana ia keluar. Tentu dengan uang yang
dicampur dengan kesungguh-sungguhan semu. Bukan dengan idealisme akan
pembebasan, dan proses bagaimana lepas dari keterikatan konsep
Penindas-Tertindas. Tak heran jika Bob Dylan menuliskan “Sepertinya sekolah
benar-benar tidak terlalu banyak memberikan pelajaran”. Pendidikan di Indonesia
sudah terjangkiti penyakit parah mulai dari sistem hingga pelakunya, entah
guru, penyedia layanan, bahkan muridnya. Dari sistemnya, kita jelas masih
berkutat dalam sistem gaya bank. Sistem pendidikan yang seperti ini mirip pelatih
hewan yang sedang mengajari seekor monyet untuk menari dan menghibur penonton
sirkus. Pendidikan yang mampu membebaskan tak bisa seperti itu, pendidikan
manusia ya yang harus mengartikan pelakunya sebagai manusia. “Pertanyaan klasik
adalah: “Bagaimana pendidikan seharusnya dijalankan?” Jika Jean Jacques
Rousseau mengatakan bahwa panggilan pendidikan tertinggi adalah menjadikan
manusia sebagai manusia, maka pendidikan seharusnya dijalankan dengan
memanusiakan manusia. Tidaklah benar jika pendidikan dikerjakan dengan
mendidik manusia menurut cara orang mendidik binatang.”[4]. Pendidikan yang
telah terkontaminasi bisnis komersial akan melahirkan budaya komersialisme.
Lulusan sekolah akan selau disibukkan dengan bagaimana cara mendapatkan
kehidupan dari segi finansial. Padahal, pendidikan tak bermakna sesempit itu. “Bahwa
menurut Dewey, tujuan pendidikan bukanlah menghasilkan barang-barang bagus yang
bisa dijual dan menambah kas negara, melainkan menghasilkan manusia-manusia
bebas (produces free men) yang mampu berhubungan satu sama lain
dalam situasi yang setara (equal relation).”[5].
![]() |
[4]. Pendidikan Non Komersial |
Namun, bagaimanapun juga pasti
tetap ada beberapa orang tergerak dan menyadari keganjilan-keganjilan sistem
walau ia sendiri tak mengetahuinya. Dengan tergeraknya manusia tentang keadaan
pendidikan inilah muncul secercah
harapan tentang pelurusan makna pendidikan itu sendiri. Tentunya dengan
lahirnya kritik-kritik dan aksi lain yang bertujuan meluruskan makna pendidikan
dan mengaplikasikan nilai-nilai pendidikan yang bermakna pembebasan tersebut.
Walaupun tidak harus melalui meja sekolahan, sebab masih banyak juga orang yang
tak pernah merasakan nyamannya meja sekolahan. Disinilah harapan itu muncul,
justru gerakan pemulihan ini dimulai dari orang yang belum pernah tersentuh
oleh sistem pembodohan meja sekolahan. Atau dari orang-orang yang pernah
merasakan pembodohan terstruktur dari sistem pembodohan yang amburadul, namun
segera tersadarkan dan membuat gebrakan yang radikal dan revolusioner.
Solusinya, mereka yang peduli tentang pelurusan ini, harus beraksi melalui
kursus-kursus gratis kepada orang-orang yang belum atau bahkan sudah tercemar
pembodohan terstruktur yang mengatasnamakan pendidikan. Dalam upaya ini, lebih
diutamakan pendidikan dua arah atau yang disebut oleh Freire sebagai pendidikan
Hadap-Masalah, berupa refleksi, dialog dan observasi. Dengan begitu, maka
harapan akan pendidikan sebagai tahap manusia dalam mencari kebebasan dapat
terwujud.
![]() |
[5]. Nelson Mandela - Quotes |
Sumber :
[1]. Paulo Freire, Pendidikan
Kaum Tertindas, terj. Tim Redaksi Asosiasi Pemandu Latihan (Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia, 2008), hal. 52.
[2]. Ibid., hal.
55.
[3]. John Lennon, dkk.,
Rebel Notes, terj. Adhe Ma’ruf (Yogyakarta:
Katalika, 2017), Cet. Pertama, hal. 26.
[4]. Ferry Yang, Kritik Terhadap Pendidikan Indonesia :
Pendidikan Manusia, http://www.kompasiana.com/motyang/kritik-terhadap-pendidikan-indonesia-pendidikan-manusia_5869acaff87e61632e984a70
[5]. Reza A.A Watimena, Demokrasi dan Pendidikan Menurut
Noam Chomsky, https://rumahfilsafat.com/2012/03/23/demokrasi-dan-pendidikan-menurut-noam-chomsky/
Big Thanks To Readers!
No comments:
Post a Comment