![]() |
[1]. Indonesian Flag |
Ratusan tahun
Bangsa Indonesia mengalami penjajahan yang diluar batas kemanusiaan.
Penghisapan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia, akal sehat, hingga peniadaan
nasib baik. Dari kongsi dagang Belanda hingga penjajahan oleh Jepang, sudah
pernah mengangkangi derajat hidup bangsa ini. Melakukan kesewenang-wenangan dan
seenaknya sendiri menciptakan kelas-kelas masyarakat baru sesuai
kepentingannya. Walaupun mereka memiliki tujuan yang berbeda-beda, dari sudut pandangnya pun bisa
berbeda juga,
namun kenyataannya sama, yaitu menindas. Penjajahan dari kaum penindas mencakup segala aspek
kehidupan, mulai penjajahan fisik, sistem sosial dan budaya, hingga penjajahan
intelektual. Penjajahan fisik sangat mudah dikenali sebab bentuknya nyata,
pembunuhan, genosida, penyiksaan dan lainnya. Namun penjajahan akal sehat dan
sistem sosial jauh lebih susah diselidiki dan diberantas. Kebetulan juga bangsa
Indonesia sangat mudah untuk dipecah-belah jika sudah dihadapkan pada
kepentingan dan syahwat. Sehingga mudah sekali kaum penindas melakukan
lobi-lobi dan memecah belah, sesudahnya kaum penindas melakukan kebejatan
sesuai kehendak dan nafsunya. Hal itu berlangsung hingga beratus-ratus tahun
dan diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Ceritanya mungkin sedikit berubah
ketika masa penjajahan kolonial, namun memiliki tema yang tetap sama,
penindasan. Penjajah mulai memoles wajahnya hingga terkesan sedikit halus dan
menarik. Contohnya saja politik balas budi yang dipelopori oleh Brooshooft dan
Van Deventer sebagai kritik terhadap sistem tanam paksa. Namun, kenyataannya
Politik Etis tersebut dijadikan sistem penjajahan yang bermuka lebih halus. Politik
Etis mencakup tiga tuntutan : Irigasi, Migrasi, dan Pendidikan. Dalam bidang Irigasi,
kenyataannya hanya menjangkau tanah-tanah para tuan dan perusahaan swasta milik
Belanda sendiri, kaum pribumi sama
sekali tak tersentuh manfaatnya program ini. Dalam
bidang Migrasi, orang-orang pribumi disebar ke wilayah-wilayah yang dibutuhkan
tenaga kerja untuk perkebunan, atau perusahaan milik penindas. Mereka hanya
dijadikan budak di lain daerah, bukan mengangkat derajat hidupnya malah semakin ditindas dan terasingkan. Dalam bidang pendidikan, hanya keturunan bangsawan atau tuan-tuan
saja yang bisa mendapatkannya. Sedangkan anak-anak pribumi banyak yang tak bisa mendapatkannya. Dalam
pendidikan juga mulai tercipta kelas-kelas yang diskriminatif, yaitu kelas
anak-anak pegawai dan anak-anak pribumi biasa. Konten pendidikannya pun
disesuaikan dengan kepentingan si penindas, jika sekiranya tidak memberikan
manfaat untuk kaum penindas, maka pendidikan itu tidak diberikan. Hal itu pun
berlangsung hingga beberapa generasi selanjutnya.
Suasana dunia di
masa World War II semakin tidak
menentu, hingga akhirnya penjajahan diganti oleh Jepang. Namun jepang hanya
menguasai beberapa tahun saja, tujuannya pun hanya untuk memperoleh sumber daya
dan finansial guna kepentingan perang. Jepang tidak semassif penjajah
sebelumnya yang mampu mengubah sistem dan tatanan sosial bahkan akal sehat
penduduk pribumi dapat pula dikebiri. Setelah kekalahan Jepang, bangsa Indonesia menyatakan
kemerdekaannya sebagai bangsa
terbebas. Indonesia muncul sebagai negara baru ditengah
kemelut persoalan dunia pasca Perang Dunia. Ditunjang Indonesia berada dalam
wilayah yang strategis, sehingga sangat disayangkan oleh para penindas jika
Indonesia lepas dari belenggunya.
![]() |
[2]. Proklamasi |
Bangsa ini pada
tahun 1945 menyatakan kemerdekaannya, berkat perjuangan fisik rakyatnya maupun
perjuangan diplomatis beberapa elit politiknya. Namun, apakah betul Indonesia
merdeka? ataukah Indonesia hanya mengalami perubahan model penjajahan baru?.
Mengingat bangsa Eropa menjajah beratus-ratus tahun, apakah mungkin Indonesia
bisa lepas dari pengaruhnya?. Belum lagi ditambah penjajahan Jepang, lengkap
sudah model-model penindasan yang dialami bangsa ini. Lalu bagaimanakah kemerdekaan itu?.
Dalam pertemuan antara
Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Agus Salim, Tan Malaka datang tanpa undangan dan
mengatakan bahwa, “Kepada kalian para sahabat, tahukah kalian kenapa aku tidak
tertarik pada kemerdekaan yang kalian ciptakan. Aku merasa bahwa kemerdekaan
itu tidak kalian rancang untuk kemaslahatan bersama. Kemerdekaan kalian diatur
oleh segelintir manusia, tidak menciptakan revolusi besar. Hari ini aku datang
kepadamu, wahai Soekarno sahabatku. Harus aku katakan bahwa kita belum merdeka,
karena merdeka haruslah 100 persen.”. Tan Malaka adalah seorang Bapak Republik
yang tidak diterima oleh bangsanya sendiri. Namanya dijauhkan dari sejarah
perjuangan yang konseptual. Bagi Tan, kemerdekaan yang berhasil dikumandangkan
pada 1945 hanyalah kemerdekaan milik kaum elit, bukan milik rakyat. Kemerdekaan
kaum elit yang bahagia mendadak karena menjadi borjuis. Kemerdekaan ini hanya
dapat dirasakan oleh pemimpinnya saja, sedangkan rakyat harus tetap menghadapi
penindasan yang dilakukan oleh wakilnya sendiri. “Esok, adalah hari dimana aku
akan menjelma menjadi musuh kalian, karena aku akan tetap berjuang untuk
merdeka ‘seratus persen’.” Begitu ungkap Tan Malaka. Jika kita melihat dari
sudut Tan Malaka, benar memang bangsa ini tidaklah merdeka, yang merdeka
hanyalah sebagian elit politiknya saja, sedangkan rakyatnya tidak.
Sehingga setelah
bangsa ini dikatakan ‘merdeka’ pun kita masih menjumpai segala jenis penindasan yang telah berubah
modelnya. Baik dari demografi, sumber daya alam, ideologi, politik, sosial
budaya, edukasi, bahkan ekonomi. Dinamika perpolitikan hanyalah ‘drama’, tak
pernah menyelesaikan persoalan ketertindasan. Sukarno digulingkan dan
digantikan Soeharto hanyalah tontonan ‘drama non-kolosal’ yang tak pernah
menyelesaikan permasalahan. Justru malah lebih parah, kita menghadapi
penjajahan New Imperialism yang
dilakukan oleh elit penguasa global. Kita dihadapkan dengan oligarki politik
oleh beberapa politisi Orde Baru yang memperkaya diri dan keluarganya dengan
cara menindas dan menabung beban bagi
rakyat. Atas nama pembangunan, dewa-dewa kemakmuran dikangkangi
dan di cor dengan semen-semen palsu. Gedug-gedung sekolah dibangun namun
semakin jauh dari makna pendidikan, lumbung-lumbung padi dibangun tapi malah
semakin dekat dengan kelaparan, Pabrik-pabrik dibangun namun jauh dari
kemajuan. Pembangunan, adalah kedok pemerintah Orde Baru (baca : rezim penindas) untuk
hutang ke luar negeri dan menjajakan diri kepada investor, yang hasilnya
dikorupsi dan dibagi-bagi kepada sanak family.
Rakyat hanya diberikan ampasnya yang tak seberapa, namun dibebani hutang
dan masa depan yang penuh dengan kemalangan.
Sebagian besar
anak-anak hidup namun jauh dari pendidikan, sedangkan mereka yang dekat dengan
pendidikan hanya mengejar prospek dan cita-cita menjadi pejabat dan ‘negarawan’. Inilah
penjajahan yang lebih biadab, anak bangsa menyikut nasib anak yang lainnya.
Jelas-jelas ini warisan pendidikan masa kolonial, warisan otak-otak penindas.
Tenaga pendidik yang sama sekali tak pernah membahas tentang pembebasan, namun
hanya berkutat dalam keinginan memutar keadaan. Rakyat disubsidi untuk
mengecohnya dari persoalan yang sebenarnya, hutang dan tipu-tipu. Penindasan
lain yang tak kalah mengerikan adalah penindasan kemanusiaan. Setiap orang yang
melayangkan kritik pasti dibungkam bahkan dihilangkan nyawanya, nyawa tak
pernah berarti jika diadu dengan roda kekuasaan dan perpolitikan. Kita dapat
menyaksikan hilangnya beberapa aktivis yang melakukan perlawanan terhadap rezim
penindas, bahkan sampai peristiwa penembakan yang sampai menghilangkan nyawa
seseorang beratasnamakan negara dan stabilitas. Kemerdekaan Indonesia hanya mampu membebaskan penindasan
fisik yang dilakukan oleh bangsa eropa, namun tak mampu membebaskan penindasan
sistem oleh bangsa adikuasa yang dititipkan pada elit politik kita.
Politisi-politisi dan pejabat-pejabat hanya ‘meneruskan mandat’ dari penjajah
imperial. W.S Rendra dalam puisinya yang berjudul Maskumambang mengatakan
“Bangsa kita kini seperti dadu, terperangkap di dalam kaleng hutang yang
dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa tanpa kita bisa melawannya.”.
![]() |
[3]. Reformasi |
Soeharto berhasil
ditumbangkan, digantikan Orde Reformasi dimana amandemen-amandemen dipercaya
dapat mengubah nasib bangsa. Perubahan sistem perpolitikan hingga perubahan undang-undang
digulirkan namun tetap sama-sama bernada penjajahan. Kita melihat bahwa memang
penjajahan fisik sudah nyaris tidak ada, namun berganti ke penjajahan sistem.
Kita dijajah dengan hutang peninggalan Orde sebelumnya, yang mana dengan
mengatasnamakan pembangunan bisa
seenaknya membebani rakyatnya segudang derita. Hutang
tersebut menjerat dan mencekik generasi selanjutnya sehingga bangsa ini tak
mampu bernafas sebagaimana mestinya. Benar kata Rendra bahwa bangsa ini terperangkap
seperti dadu dalam kaleng hutang yang dikocok-kocok tanpa bisa melawan. Itulah,
yang mana kita lihat sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia [tak pernah] bisa
lepas dari penjajahan. Kita saja tak bisa lepas dari penjajahan wakil kita
sendiri, bagaimana mungkin bisa lepas dari penjajahan penguasa global?. Bangsa
ini dijerat oleh kebijakan-kebijakan pebisnis dan pemilik modal skala global
yang bajingan. Sebagaimana yang dibahas oleh John Pilger dalam film
dokumenternya yang sudah sangat
familiar “The New Rulers of The World”, bahwa penjahan
baru itu bernama globalisasi. John
Pilger mempertanyakan arti globalisasi, “... ataukah ini (globalisasi) semata-mata
adalah cara lama yang dulunya dilakukan pada jaman raja-raja dan sekarang
diteruskan oleh perusahaan-perusahaan multinasional dengan berbagai lembaga
keuangan dan pemerintah sebagai penopangnya.”.
Kenyataannya bahwa memang kita belum pernah bisa merdeka, kita hanya
mengalami fase-fase penjajahan yang berbeda pelaku dan metodenya. Dalam liputan
spesial itu dibahas tentang penjajahan gaya baru ‘globalisasi’ di Indonesia,
khususnya setelah tumbangnya rezim Sukarno dan digantikan Soeharto, hingga masa
setelah reformasi. Dengan dimulai masa rezim Soeharto, hingga kini bangsa ini
harus menanggung masa penjajahan dikte IMF dan World Bank, belum lagi utang
kepada bangsa lain yang sebagai syaratnya harus mau didikte secara politik,
sosial maupun ekonomi. Sangat disayangkan negeri yang begitu kayanya akan
sumber daya harus menjadi pengemis dan hidup dalam ketertindasan. Buruh pabrik
harus menjadi robot-robot bernyawa untuk mendapat penghidupan yang jauh dari
kata layak. Bayaran Ronaldo untuk mengiklankan sepatu branded luar negeri yang pabriknya di Indonesia mampu untuk membeli
tenaga seratus buruh rendahan pembuatnya selama setahun penuh. Kenyataan yang
sangat tidak masuk akal dan tidak dapat diterima secara manusiawi. Penjajahan
biadab yang mengatasnamakan ‘pembangunan’dan kemajuan jaman. Petani-petani
hanya mampu memandang makanan di balik etalase restoran multinasional tanpa
bisa membelinya. Hasil panennya dimainkan oleh kartel dan monopoli
cukong-cukong bermuka ‘sok baik’. Harga beras dibeli secara murah namun jika
sudah ditambahkan merek, tajam harganya melebihi tajam arit petaninya, biadab.
Anak-anak miskin hanya mampu bersekolah ketika terlelap di malam hari, mimpi
yang tak kunjung terealisasi. Adapun jikalau bisa bersekolah, orang tuanya lah
yang kelimpungan mencari biaya, beasiswa ‘mandeg’ disikat iuran komite sekolah.
Penegakan hukum juga hanya menjadi omong kosong dan bualan penguasa, dengan
mudahnya tarik ulur untuk kepentingan politis. Katakanlah seperti kasus
hilangnya aktivis ketika masa reformasi, setiap hendak pergantian kekuasaan
pasti menjadi janji, namun hanya menjadi bualan dan tak pernah serius
dibuktikan. Begitu pula dengan penuntasan kasus pelanggaran HAM 1965 dimana
ratusan ribu nyawa dihilangkan atas nama pembersihan dan stabilitas nasional.
Penyelesaian kasusnya seperti selalu tersendat-sendat tak pernah lancar dan
sebentar muncul sebentar tenggelam.
Kenyataannya sekali lagi kita tegaskan, bahwa Indonesia
[tak pernah] bisa lepas dari penjajahan, sebab dari awal mulanya saja memang
sudah dirancang untuk tidak merdeka. Kita banyak mengadopsi sitem kolonial,
yang mana sampai sekarang masih dipercaya relevan untuk mengatur negara. Kita
dicetak menjadi peradaban yang berpikiran dangkal, dididik dalam suasana dan
sistem warisan kolonial. Sehingga kita semakin dijauhkan dari makna pembebasan,
kita hanya disibukkan dalam konsep penindas-tertindas.
Namun, masih ada harapan sekecil apapun itu. Kita
masih memiliki potensi untuk melepaskan diri dari penindasan, hanya saja kita
mau atau tidak. Dalam mencapai kemerdekaan yang sebenarnya, kita perlu mengawalinya dengan
melakukan revolusi dari dalam diri kita sendiri. Dengan revolusi kecil itu,
yakinlah kita akan semakin disatukan dengan orang-orang lain yang juga
melakukannya. Sehingga suatu saat jebollah sistem penindasan yang menjerat kita
selama ini karena People Power. Perlawanan dibutuhkan untuk mengikis habis ketertindasan.
Panjang umur perlawanan!
Sumber gambar :
[3].http://cdnimage.terbitsport.com/imagebank/gallery/large/20160523_082122_harianterbit_reformasi.jpg
Big Thanks To Readers!
Written by : Vrandes Setiawan Cantona
No comments:
Post a Comment